Najidah juga mengatakan bahwa PT harus bijak dalam hal ini.
"Saya berharap ketika ada lembaga/ warga masyarakat ada proses ketidakadilan atau berkonflik, pengadilan harus tegak berdiri di atas normanya, di atas etisnya," ujarnya.
Dari penjelasan Najidah, tim redaksi kemudian konfirmasi lagi kepada Supeno, Humas di Pengadilan Tinggi Kaltim, perihal dasar dari Hakim Pengadilan Tinggi melantik di DPRD Kaltim untuk Hasanuddin Masud.
Supeno menjelaskan tetap merujuk pada fatwa MA.
"Begini, itu kalau ada kasus yang sama, misalnya di daerah lain, kalau ada kasus yang sama, ada PAW, ada pregantian Ketua DPRD, itu cara mengatasinya begitu. Fatwa itu berlaku seluruh Indonesia, itu kan untuk memecahkan masalah. Itu solusinya begitu," ujarnya.
Ditanya terkait sifat fatwa yang tak mengikat, sementara putusan PN adalah hal yang harus dilaksanakan, Supeno menjawab hal itu tak bisa disamakan.
"Ya jangan disamakan antara fatwa dengan putusan," ucapnya.
Dikonfirmasi, terkait ada kesan PT yang tak mengakui putusan PN, Supeno juga menjawab bahwa itu hal berbeda.
"Oh enggak, Perkara itu kan gugatan yang menyangkut pribadi. Kalau fatwa itu menyangkut ketatanegaraan," ujarnya.
"Oh enggak. Kan beda. Ini masalah ketatanegaraan. Kalau ada kasus yang menyangkut negara secara administrasi yang menyelesaikan itu pengadilan tata usaha negara, bukan pengadilan negeri. Beda, harus dipisahkan antara tata negara dan perdata gitu," ujarnya.
"Yang gugatan masuk perdata, yang pelantikan masuk ke ketatanegaraan. Itu kalau ada sengketa yang menyelesaikan pengadilan tata usaha negara," ujarnya.
Fatwa dianggap tak bisa langkahi putusan PN
Menjawab Supeno terkait proses gugatan yang menyangkut pribadi dan pelantikan adalah urusan ketatanegaraan, Dosen Fakultas Hukum Unmul lainnya, Alfian S.H, M.H juga bertanya balik.
"Kalau itu argumentasi yang dibangun PT, kenapa UU Parpol kemudian mengamanatkan para pihak ketika merasa tidak puas, diarahkan untuk ke pengadilan negeri, bukan ke PTUN. Mungkin maksud PT itu, untuk menggugat SK yang dikeluarkan oleh Mendagri," katanya.
"Fatwa MA itu tidak berarti apa-apa. Itu bukan produk hukum. Itu layaknya sebuah surat, surat biasa saja yang dikeluarkan Mahkamah Agung, Sehingga ketika dihadapkan dengan produk hukum, baik itu SK,putusan pengadilan, ya itu tentu saja dikesampingkan,"