"Ada konsep pemerintahan khusus yang disebut Badan Otorita IKN, padahal badan itu tidak dikenal di institusi Indonesia," ungkap Najidah.
Terkait pertanahan di lokasi ibu kota negara juga disebut belum jelas.
Tidak ada pembatasan luasan IKN yang ingin dibangun oleh pemerintah.
Selain itu, Najidah juga menyinggung soal kewenangan di IKN baru.
Pembangunan IKN tidak hanya dimiliki oleh pemerintah pusat melalui Badan Otorita IKN, namun juga diisi pihak-pihak lain.
Mereka adalah Pemprov Kaltim dan pemerintah kabupaten/kota sekitar lokasi IKN.
"Aktor pembangunan tidak hanya Otorita IKN, tapi juga ada juga pola membangun pemerintahan dan pembangunan membutuhkan regulasinya. Tidak cuma Otorita, tapi juga Pemprov Kaltim, juga pemerintah kabupaten/kota," paparnya.
Pihak-pihak terkait turut memiliki kapasitas sendiri.
Kaltim memiliki kewenangan dan diatur dalam konstitusi dan kewenangan undang-undang kedaerahan.
"Harus ada relasi dengan kewenanagan daerah. Jangan sampai ada tumpang tindih kewenangan. Harus ada korelasi," paparnya.
Sementara itu, Herdiansyah Hamzah, juga merupakan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, turut menyampaikan pandangannya.
Castro sapaan akrabnya menyinggung soal pendanaan pembangunan IKN di Sepaku, Penajam Paser Utara.
"Pasal 24 ayat (1) RUU IKN, pemindahan dan pembangunan IKN di Kaltim, bersumber dari APBN dan atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," terang Herdiansyah Hamzah.
Bersasarkan RUU IKN, kebutuhan dana pemindahan dan pembangunan ibu kota negara sebesar Rp466 triliun.
10 persen dari APBN, dan sisanya berasal dari investasi, membangun tolal wilayah IKN 256.142 hektare. Terdiri dari 56.180 hektare kawasan inti IKN dan 199.962 hektare kawasan pengembangan IKN.