“Permohonan informasi ini diajukan lantaran pada 28 Februari 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan pangkat jenderal kehormatan kepada salah satu terduga pelaku dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), yaitu kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998 yang mengakibatkan 23 orang menjadi korban,” terang Andi Muhammad Rezaldy.
Andi menjelaskan, dalam surat yang dilayangkan berisi dua permohonan, pertama soal Keputusan Presiden Nomor 13/TNI/2024 tertanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa Berupa Jenderal TNI Kehormatan; dan kedu, alasan pemberian kenaikan pangkat Jenderal Kehormatan Bintang 4 kepada Prabowo Subianto disertai dengan hasil analisa dan verifikasi Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Andi meyakini, apa yang dilakukan KontraS sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
Andy juga memastikan, informasi tersebut justru penting untuk dibuka kepada publik seluas-luasnya dalam konteks keterbukaan dan implementasi demokrasi partisipatoris.
Menurut Andi, KontraS meyakini pemberian kenaikan pangkat kepada Prabowo Subianto patut dipertanyakan sebab pria yang kini menjabat sebagai menteri pertahanan tersebut bukanlah seorang perwira TNI aktif.
Artinya pemberian kenaikan pangkat tersebut semakin mempertebal dinding impunitas yang dirawat oleh pemerintah.
“Alih dijatuhkan hukuman pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggaran berat HAM, para terduga pelaku dibiarkan melenggang bebas di luar jeruji besi serta diberikan keistimewaan dan penghargaan dalam sistem pemerintahan di negara ini,” pungkasnya. (*)