POJOKNEGERI.COM - Beda pendapat muncul dalam proses menuju pelantikan Hasanuddin Masud sebagai Ketua DPRD Kaltim,
Diagendakan, Hasanuddin Masud akan dilantik pada Senin (12/9/2022) mendatang di Hotel Mercure Samarinda.
Tim redaksi konfirmasi ke beberapa pihak terkait dengan pandangan hukum mengenai pelantikan itu.
Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim, Nyoman Gede Wirya yang nantinya akan berperan sebagai pengambil sumpah Ketua DPRD Kaltim yang baru, menyampaikan dirinya diminta oleh Mahkamah Agung untuk melakukan pelantikan itu.
"Ada fatwa dari MA (Mahkamah Agung) bahwa saya tetap diminta melakukan pelantikan ketua DPRD Kaltim," ucap Nyoman saat dijumpai media ini di ruang kerjanya, Kamis (8/9/2022).
Lanjut dijelaskannya, pelantikan Ketua DPRD Kaltim yang baru itu berdasarkan rekomendasi yang telah dikeluarkan Mahkamah Agung.
"Saya awalnya mau melakukan konsultasi (ke MA) karena ada putusan hukum (PN Samarinda mengambulkan gugatan Makmur HAPK), tapi pihak yang bersangkutan (DPP Golkar) yang memiliki kepentingan langsung melakukan konsultasi dan akhirnya keputusannya di WA Kahumas MA untuk segera melantik Ketua DPRD Kaltim," bebernya.
Dari penjelasan Kepala PT itu, tim redaksi kemudian konsultasikan ke beberapa akademisi bidang hukum. Universitas Mulawarman menjadi salah satu sumbernya.
Najidah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menekankan pada dasar fatwa yang digunakan oleh PT untuk melantik Hasanuddin Masud.
"Fatwa itu kan diberikan tanggal berapa? Juni. Itu sebelum ada putusan (PN Samarinda). Fatwa itu kan pendapat hukum. Tidak harus tunduk, dia tidak mengikat. Posisinya fatwa itu posisi hukumnya berbeda. Ini sudah diputuskan, perbuatan melawan hukum. Masa mau melantik yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Logikanya kan di situ"" ujarnya.
"Kalau saya, satu, kebijakan itu ada dasar hukum. Fatwa itu adalah pendapat hukum. Perintahnya Undang-Undang itu sudah jelas, pemerintah harus tunduk pada keputusan hukum, bukan fatwa hukum. Tidak ada Undang-Undang memerintahkan orang Indonesia tunduk pada fatwa. Tunduknya pada putusan peradilan," katanya.
Najidah juga menjelaskan bahwa tidak benar jika telah ada putusan pengadilan, tetapi masih merujuk pada fatwa untuk melakukan sesuatu. Itu seperti sunah diikuti, tetapi yang fardu malah ditinggal.
"Tidak benar dong," katanya.
"Kan sudah diputuskan itu perbuatan melawan hukum, masa tidak dijadikan pertimbangan? Saya harus ngomong, hal yang aneh ketika orang menimbang, fatwa diperhatikan, putusan pengadilan tidak," ujarnya.
"Kedua, posisi fatwa surat MA saat itu saat belum diputuskan, sekarang kan sudah diputuskan (PN Samarinda). Kondisi hukumnya itu jauh berbeda. Pertimbangan hari ni, apakah bisa dikatakan logis, ketika perbuatan melawan hukum itu dilantik atas dasar perbuatan melawan hukum?," jelasnya.
Najidah juga mengatakan bahwa PT harus bijak dalam hal ini.
"Saya berharap ketika ada lembaga/ warga masyarakat ada proses ketidakadilan atau berkonflik, pengadilan harus tegak berdiri di atas normanya, di atas etisnya," ujarnya.
Dari penjelasan Najidah, tim redaksi kemudian konfirmasi lagi kepada Supeno, Humas di Pengadilan Tinggi Kaltim, perihal dasar dari Hakim Pengadilan Tinggi melantik di DPRD Kaltim untuk Hasanuddin Masud.
Supeno menjelaskan tetap merujuk pada fatwa MA.
"Begini, itu kalau ada kasus yang sama, misalnya di daerah lain, kalau ada kasus yang sama, ada PAW, ada pregantian Ketua DPRD, itu cara mengatasinya begitu. Fatwa itu berlaku seluruh Indonesia, itu kan untuk memecahkan masalah. Itu solusinya begitu," ujarnya.
Ditanya terkait sifat fatwa yang tak mengikat, sementara putusan PN adalah hal yang harus dilaksanakan, Supeno menjawab hal itu tak bisa disamakan.
"Ya jangan disamakan antara fatwa dengan putusan," ucapnya.
Dikonfirmasi, terkait ada kesan PT yang tak mengakui putusan PN, Supeno juga menjawab bahwa itu hal berbeda.
"Oh enggak, Perkara itu kan gugatan yang menyangkut pribadi. Kalau fatwa itu menyangkut ketatanegaraan," ujarnya.
"Oh enggak. Kan beda. Ini masalah ketatanegaraan. Kalau ada kasus yang menyangkut negara secara administrasi yang menyelesaikan itu pengadilan tata usaha negara, bukan pengadilan negeri. Beda, harus dipisahkan antara tata negara dan perdata gitu," ujarnya.
"Yang gugatan masuk perdata, yang pelantikan masuk ke ketatanegaraan. Itu kalau ada sengketa yang menyelesaikan pengadilan tata usaha negara," ujarnya.
Fatwa dianggap tak bisa langkahi putusan PN
Menjawab Supeno terkait proses gugatan yang menyangkut pribadi dan pelantikan adalah urusan ketatanegaraan, Dosen Fakultas Hukum Unmul lainnya, Alfian S.H, M.H juga bertanya balik.
"Kalau itu argumentasi yang dibangun PT, kenapa UU Parpol kemudian mengamanatkan para pihak ketika merasa tidak puas, diarahkan untuk ke pengadilan negeri, bukan ke PTUN. Mungkin maksud PT itu, untuk menggugat SK yang dikeluarkan oleh Mendagri," katanya.
"Fatwa MA itu tidak berarti apa-apa. Itu bukan produk hukum. Itu layaknya sebuah surat, surat biasa saja yang dikeluarkan Mahkamah Agung, Sehingga ketika dihadapkan dengan produk hukum, baik itu SK,putusan pengadilan, ya itu tentu saja dikesampingkan,"
"Yang jadi pertanyan besar, dan harus ditanyakan ke Pengadilan Tinggi, apa makna dari putusan PN, yang menyatakan dan mengakui kepengurusan pimpinan dari 2019- 2024. Itu maknanya apa, artinya apa?
"Secara tidak langsung, masa PT tidak mengakui putusan itu?," ujarnya.
Ia juga mengarisbawahi bahwa fatwa tak memiliki kekuatan hukum, meskipun fatwa itu dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
"Surat itu biasa saja yang tidak memiliki kekuatan hukum. Memang MA memiliki kewenangan untuk memberiakn penjelasan ke lembaga negara. Tapi apakah kemudian pejelasan itu memiliki kekuatan hukum dan dapat mempengaruhi keputusan?," ujarnya.
"Jangan sampai fatwa itu memberikan pembatasan kepada warga negara untuk melakukan gugatan," katanya.
Latar belakang
Untuk diketahui dalam proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hassanudin Masud sejatinya telah digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Samarinda beberapa waktu lalu.
Setelah berproses seklian lama, majelis hakim PN Samarinda kemudian mengambulkan sebagian gugatan Makmur HAPK yang tetap bisa mempertahankan posisinya sebagai Ketua DPRD Kaltim.
Dalam pokok putusan perkara poin ke satu, amar putusan PN Samarinda menyebut mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
Poin kedua, menyatakan Tergugat I, Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Airlangga Hartanto dan Lodewijk F Paulus. Tergugat II, Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Kaltim, Rudy Masud dan Muhammad Husni Fahruddin.
Tergugat III, Fraksi Partai Golkar DPRD Kaltim Andi Harahap dan Nidya Listiyono, serta Turut Tergugat Hasanuddin Masud telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Poin ketiga, menyatakan surat keputusan Menteri Dalam Negeri nomor : 161.64-4353 tahun 2019, tanggal 25 September 2019 tentang peresmian pengangkatan pimpinan DPRD Kaltim berlaku sejak tahun 2019 sampai dengan 2024.
Poin keempat, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap : surat keputusan Tergugat I Nomor : B-600/GOLKAR/VI/2021 Tanggal 16 Juni 2021 tentang persetujuan pergantian antar waktu pimpinan DPRD Kaltim sisa masa jabatan 2019-2024.
(redaksi)