Ia bisa memerintahkan dosen untuk mengambil uang penagihan di dugaan suap penerimaan mahasiswa baru itu.
Karomani diduga memerintahkan Mualimin selaku dosen mengumpulkan uang dari para orang tua yang ingin anaknya diluluskan.
Dikutip dari Kompas.com, uang yang diterima Karomani melalui Mualimin seluruhnya adalah Rp 603 juta.
Sekitar Rp 575 juta telah digunakan untuk keperluan pribadinya.
KPK juga menemukan adanya sejumlah uang yang diterima oleh Karomani dari Budi Sutomo dan M Basri yang berasal dari pihak orang tua calon mahasiswa yang telah dialih bentuk menjadi tabungan deposito, emas batangan.
Dalam operasi tangkap tangan ini KPK telah mengamankan barang bukti yang diduga merupakan suap tersebut.
Barang bukti itu yakni uang senilai Rp 414,5 juta; deposito bank senilai Rp 800 juta; kunci save deposit boks diduga isi emas setara Rp 1,4 miliar; dan kartu ATM serta buku tabungan yang berisi Rp 1,8 miliar.
Nah, mengapa bisa ada proses suap menyuap dalam PM? Itu Karomani yang tahu.
Dia yang diduga terima uang. Dia yang ditangkap KPK.
Tetapi, dari pola yang dijabarkan KPK, penerimaan suap itu masuk dalam proses jalur masuk mandiri perguruan tinggi.
Jalur mandiri adalah salah satu pintu masuk calon mahasiswa untuk mendapatkan bangku di kampus melalui keputusan setiap pengelola perguruan tinggi negeri.
Dosen yang juga peneliti dan aktivis antikorupsi dari Pusat Studi Antikorupsi, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah, memberikan pendapatnya dalam pemberitaan VOA dilihat pada Selasa (23/8/2022).
“Karena memang ada ruang yang dimunculkan. Ada ruang yang dibangun dari skema kelas mandiri itu. Jadi, transaksi jual beli kursi pun, itu diakibatkan oleh dibukanya kelas-kelas mandiri yang memungkinkan, transaksi jual beli itu terjadi antara universitas dengan calon mahasiswa,” kata Herdiansyah.
Kelas mandiri memberi peluang kepada kampus negeri untuk memberi opsi sumbangan dari calon mahasiswa.
Karena keputusan diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa berada di tangan kampus, Karomani memanfaatkan celah tersebut.
Secara sederhana, dia memperjualbelikan kursi di perguruan tinggi negeri yang dipimpinnya, kepada mereka yang mau membayar.
“Sebenarnya kalau untuk jangka pendek, saya lebih sepakat kalau-kelas mandiri itu dihilangkan saja. Justru kelas regulernya yang mesti ditambah. Cuma, lagi-lagi, hampir setiap kampus pasti mengatakan itu salah satu sumber pendanaan,” lanjut Herdiansyah atau kerap disapa Castro itu.
Yah, pada akhirnya kita harus "ngenes lagi".
Kalau guru sering disebut juga orang yang digugu dan ditiru.
Kalau rektor?
PS: Tak semua rektor adalah Karomani, karena Karomani hanya satu. Kalau dia ada dua, berarti Karomani bisa Kagebushin no jutsu.
Ditulis oleh Anjas Pratama, jurnalis di Kaltim
(redaksi)