4. UU ini juga telah memperlemah mekanisme kontrol publik atas ancaman kerusakan lingkungan yang mungkin dapat ditumbulkan oleh kegiatan bisnis suatu perusahaan dengan membuat syarat dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) menjadi lebih fleksibel.
5. Pemerintah juga telah mengklaim bahwa UU Omnibus Cipta Kerja dapat mengatasi pungli dan tumpang tindih aturan, terutama karena adanya kewenangan pemerintah daerah yang besar dalam menerbitkan ijin usaha. UU ini kemudian membuka ruang bagi terjadinya resentralisasi terutama dalam kaitannya dengan pemberian ijin usaha dan dalam kewenangan tata ruang.
Namun demikian, ketimbang mengatasi pungli dan tumpang tindih aturan, resentralisasi ini tidak lain merupakan upaya pemusatan korupsi dan rente oleh elite bisnis-politik-birokrat di tingkat pusat.
6. Secara teknis, penyusunan UU ini juga telah mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi dalam penyusunan UU. Sejak awal, pemerintah telah sangat tertutup dan merahasiakan proses penyusunan draf UU ini. Pemerintah bahkan mengancam anggota tim perumus agar tidak membuka informasi apapun kepada publik dalam proses tersebut.
Pembahasan di DPR atas RUU yang merevisi 79 UU yang terdiri dari kurang lebih 1000 halaman ini juga dilakukan kurang dari 1 tahun dengan hanya melalui 16 RDPU, jumlah RDPU dan lamanya penyusunan yang kurang lebih setara dengan pembahasan RUU lainnya yang hanya terdiri dari puluhan halaman.
7. Pemerintah juga telah berulangkali mengubah isi RUU yang telah disetujui oleh DPR, yang menghasilkan banyak versi akhir sebelum disahkan sebagai UU. Ini menunjukkan adanya tarik-menarik dan tawar-menawar kepentingan antar elite bisnis-politik-birokrat, termasuk antara mereka yang ada di daerah dan di pusat kekuasaan. Ini juga bukti bahwa UU ini cacat prosedur dan seharusnya tidak dapat diberlakukan sebagai UU yang sah.
8. Pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja serta UU bermasalah lainnya seperti Revisi UU Minerba dan Revisi UU MK dengan memanfaatkan situasi pandemi maupun Revisi UU KPK tahun 2019 telah berkontribusi memperparah kerusakan demokrasi dan tata hukum yang adil di Indonesia.
Tidak hanya DPR, pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo secara aktif berkontribusi membuat kerusakan ini.