POJOKNEGERI.COM - Berbagai kajian akademik telah memaparkan beberapa persoalan pokok baik secara teknis maupun substantif atas Undang-Undang bermasalah inisiatif pemerintah, UU Omnibus Cipta Kerja yang merevisi 79 UU, yang disahkan pada 5 Oktober 2020.
Beberapa masalah itu adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah dan DPR mengklaim UU ini bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi karena dapat meningkatkan skor indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business). Skor indeks ini tidak hanya bermasalah karena mengutamakan liberalisme dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memberi ruang korupsi antara aktor-aktor negara dan kapitalisme internasional (Bank Dunia) untuk memanipulasi skor itu demi kepentingan sirkulasi kapital yang mengabaikan pencapaian tujuan kemakmuran publik.
Kasus pengunduran diri direktur Bank Dunia karena telah memanipulasi skor indeks kemudahan berbisnis di Cina tahun 2020 adalah salah satu contoh penting.
2. Klaim pemerintah untuk menarik investasi asing dan dengan itu dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas kepada rakyat hanyalah omong-kosong untuk mengelabuhi publik.
UU ini pada kenyataannya justru telah banyak memangkas hak-hak buruh secara signifikan dan membuat lebih banyak peluang untuk memperlemah pengorganisasian buruh melalui fleksibilisasi tenaga kerja.
3. Peluang korupsi pada kenyataannya juga makin terbuka lebar, di antaranya melalui pengaturan gratifikasi sebagai salah satu objek pajak maupun melalui pembentukan Lembaga Pengelola Investasi yang dapat mengelola sumber keuangan negara tanpa dapat dikenai pidana jika terjadi penyelewengan atau kerugian.
Hal ini membuka peluang pencarian rente yang lebih besar yang bertentangan dengan kepentingan ekonomi pasar yang seringkali diklaim memerlukan adanya transparansi. Ini juga sejalan dengan kepentingan pemerintah dan DPR yang telah melemahkan KPK terutama sejak 2019 untuk lebih memberi impunitas pada upaya-upaya perampokan kekayaan negara.