Dari cerita di atas maka saya sepakat jika:
Pemilihan khusus anggota legislatif dikembalikan ke proporsional tertutup. Salah satu alasannya, kita harus memberikan kepercayaan kembali kepada partai politik untuk mendesain kader-kadernya sebagai calon pemimpin. Dengan demikian partai politik tidak asal catut calon hanya untuk memenuhi perolehan kursi. Sementara calon tersebut tidak melalui mekanisme atau proses di internal partai politik itu sendiri, semisal menjalani jenjang kaderisasi formal partai politik.
Jika porsinya demikian, maka partai politik sangat bertanggungjawab atas kader-kader yang didorong sebagai calon pemimpin di masyarakat nanti, maksudnya, pemimpin publik hasil dari rekrutmen partai politik bisa terukur langsung oleh masyarakat. Artinya, berhasil tidaknya pemimpin tersebut, menggambarkan berhasil tidaknya partai politik tersebut mencetak kader-kadernya.
Selanjutnya, pemilihan gubernur dikembalikan melalui mekanisme pemilihan di DPRD provinsi. Salah satu syaratnya calon gubernur tersebut adalah kader partai dan/atau tokoh-tokoh lokal yang dianggap oleh partai politik mempunyai kompentensi, kualifikasi yang mumpuni.
Jika kondisinya demikian, saya rasa, supra-infrastruktur seperti lembaga survei dan kajian masih bisa memberikan input kepada partai politik terkait tokoh-tokoh calon kepala daerah yang bisa dijagokan.
Lantas bagaimana pemilihan bupati/walikota? Sebenarnya ada harapan sama dengan usulan pemilihan gubernur, dipilih oleh DPRD kabupaten/kota. Tapi lagi-lagi perubahan ini memerlukan proses dan penyesuaian-penyesuaian atas perkembangan politik yang berkembang nantinya.
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
(redaksi)