POJOKNEGERI.COM - Penerapan proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilu 2024 khususnya legistatif, menjadi isu politik. Sebelumnya saya akan kembali mengingatkan tentang pandangan amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Sebenarnya amendemen tersebut menjadi tonggak awal semakin dilegalkannya skema liberalisasi/kapitalisme. Jika di era orde baru, pengejewantahan pelegalannya melalui Undang-Undang (UU) yang disusun oleh MPR/DPR, kemudian di era orde baru belum ada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yang menyidangkan pertentangan antara UUD dengan UU sebagai turunannya.
Masuk di era reformasi, langsung menyentuh pada jantung pondasi negara, yakni UUD 1945. Alhasil, banyak produk UU yang dibuat selalu tidak lepas dari cengkraman liberalisasi/kapitalisme. Wajar jika banyak pemerhati menyebutkan bahwa kita mengalami sedikit disorientasi.
Hasil amandemen UUD 2002 jika ditilik lebih dalam sebenarnya penuh dengan semangat individualisme, pragmatisme, materialisme dan elitis, yang kesemuanya itu adalah turunan dari skema liberalisasi/kapitalisme.
UUD 2002 menghilangkan sejumlah hal yang prinsipil pondasi berbangsa dan bernegara. Saya ambil contoh mengenai “merebut” kedaulatan rakyat, dimana dalam UUD 2002, kedaulatan rakyat kini berada di tangan partai politik. Mekanisme musyawarah mufakat berubah menjadi mekanisme voting.
Jika menggunakan mekanisme voting sudah barang tentu berdampak bisa memicu terjadinya konflik sosial bahkan berujung pada polarisasi. Ditambah lagi biaya politik tinggi, baik itu yang digelontorkan oleh negara untuk pendanaan pemilu, termasuk biaya politik yang dikeluarkan oleh para calon legislator.
Wajar, jika banyak legislator kita di parlemen adalah kalangan pengusaha yang berkemungkinan bersengkongkol atau melakukan permufakatan jahat dengan kekuasaan (eksekutif) untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kelompoknya, ini kan yang disebut dengan oligarki? Yang justru kita ciptakan sendiri melalui mekanisme pemilu yang kita sepakati.
Dengan biaya politik yang sedemikian besar itulah, banyak dari para legislator muncul hasrat untuk korup dengan alasan mengembalikan modal saat kampanye. Jika ada seorang wartawan senior mengatakan di sebuah interview, lebih baik uang itu dibagikan kepada masyarakat, daripada dibagikan kepada para anggota dewan, maka saya akan berpikir sebagai anggota dewan terpilih, terus saya salah mengembalikan modal yang telah dikeluarkan?, kamu nanya?