POJOKNEGERI.COM - Tidak ada masalah dengan penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Namun di luar itu ada juga hal yang tak kalah penting yang patut dipantau, yakni apakah benar tata kelola migas kita dikuasai swasta?
Dengan demikian kita tak terjebak pada arus yang mengalir di atas, sementara arus di bawah lebih deras.
Kenapa disinggung tentang swastanisasi pengelolaan migas? Ya karena bicara minyak erat kaitannya dengan peta geopolitik.
Sebagaimana sudah banyak disinggung dalam kajian-kajian geopolitik, bahwa: jika Anda ingin memahami geopolitik, ikuti kemana aliran minyak (Deep Stoat).
Bahkan Henry Kissingger pernah mengatakan, jika ada ingin menguasai suatu negara, kendalikan minyaknya, kemudian kendalikan pangannya. Inilah yang sebenarnya terjadi.
Kita lihat, pangan kita masih impor, padahal kita gembar-gembor kedaulatan pangan. Bicara tentang minyak, sebagaimana uraian-uraian sebelumnya sudah barang tentu bicara mengenai politik. Sebagaimana mengutip Guilford, membahas minyak 90 persennya ya tentang politik, sisanya soal teknis.
Dengan demikian bisa barangkali disepakati, politik hari ini murni hanya soal kepentingan ekonomi dan bisnis. Kenyataanya demikian.
Nah, jika bicara konstitusi negara, sudah jelas mengenai migas ini amanahnya tercantum di dalam Pasal 33 UUD 1945. Ayat (2) misalnya, menyebutkan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Kemudian dilanjutkan ayat (3), “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”