Kita seharusnya mengembalikan kepercayaan kepada partai politik dalam menerapkan demokrasi yang kita konsep sendiri, yakni demokrasi Pancasila. Partai politik sebagai organisasi modern penyangga demokrasi, sudah sepatutnya menjadi wadah pendidikan politik dan tempat mendesain calon-calon pemimpin rakyat. Dalam konteks ini saya sangat sepakat sekali dan mendukung.
Ironinya kita selalu terjebak pada persoalan-persoalan permukaan, tanpa mau menggalinya lebih dalam. Yang pada akhirnya kita kurang bisa membaca konstelasi yang sebenarnya.
Belajar dari Gubernur Papua Lukas Enembe
Sistem pemilu baik di dalamnya pilkada pada awalnya berangkat atas nama civil society, namun yang terjadi justru skenario perubahan ideologi. Civil society malah membatasi peran warga negara terhadap negaranya atau daerahnya.
Pilkada atas nama “vote rakyat” yang menyebabkan biaya politik tinggi tadi, karena terjadi kegiatan pembelian suara. Dengan demikian, ikatan hak politik setiap warga negara bukanlah pada kompetensi kepentingan, akan tetapi berapa besar uang yang diberikan. Kondisi ini justru menyebabkan ketidaktumbuhan penyadaran politik di tingkat warga. Entah kita sadari atau tidak. Nah, inilah yang juga bisa dikatakan sebagai skenario “The Clash of Civilitation.”
Kita bisa belajar dari kasus Lukas Enembe, Gubernur Papua sebagai produk “one man one vote.” Kenapa saya memilih Lukas Enembe, karena pada kasus ini strategi penangkapannya paling eksentrik. Bahkan para pendukungnya sempat menyerang markas Brimob.
Jadi sangat wajar, jika sebaiknya, apa yang pernah dikatakan mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, bahwa sebaiknya gubernur dipilih lagi oleh DPRD Provinsi.
Sebab secara subtansi, gubernur adalah kepanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk merealisasikan program-program kerja pemerintah pusat di kabupaten/kota, gubernur juga diberi wewenang untuk mensupervisi (pengawasan) kabupaten/kota. Sehingga tidak terjadi pembangkangan bupati/walikota kepada gubernur yang bisa menganggu mekanisme kerja pemerintahan itu sendiri.