"Seperti halnya dugaan diambilnya kewenangan organisasi profesi yang kemudian dialihkan ke mekanisme birokrasi Kementerian. Dengan demikian, peranan organisasi profesi tenaga kesehatan bukan saja termarginalkan, melainkan mengooptasi profesi dan keilmuannya," pungkasnya.
Atas tindakan represif yang dialami Prof. Budi Santoso tersebut, KIKA dan SPK menyatakan sikap sebagai
berikut:
1. Mengembalikan posisi Dekan FK Unair seperti sedia kala. Rektor harus bisa menjaga otonomi perguruan tinggi jangan sampai disalahgunakan untuk melayani kepentingan proyek kekuasaan, dan justru bertentangan dengan spirit pencerdasan publik warga bangsa dan daya saing yang kuat bagi dokter Indonesia.
2. Membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang salah arah dan melemahkan sistem kesehatan nasional yang berdampak kepada warga negara. Kasus Prof. Budi Santoso merupakan awal dari banyaknya masalah yang akan terjadi di berbagai Fakultas Kedokteran, insan tenaga kesehatan, atau ilmuwan yang sudah sepatutnya
kewajiban moral menjaga nalar kritisnya. Pemberangusan pandangan akademik terhadap kebijakan negara, justru semakin menegaskan posisi kampus yang sekadar melumasi negara dengan karakter otoriter.
3. Mendesakkan Rektor Unair untuk membatalkan SK Pemecatan sebagai Dekan FK Unair yang berpotensi melanggar secara hukum administrasi dan prinsip fundamental terhadap kebebasan akademik
4. Tindakan Rektor Unairsebagai bagian dari otoritas kampus membatasi kebebasan akademik adalah pelanggaran konstitusi, hukum dan HAM yang melekat pada Prof. Budi Santoso sebagai ilmuwan dan warga negara yang dijamin dalam perundang-undangan
5. Mendesak Kemendikbudristek, Ombudsman RI, dan Komnas HAM untuk turut aktif menginvestigasi dan memberikan jalan terbaik bagi upaya progresif menggunakan wewenangnya dalam perlindungan kebebasan akademik dan hak asasi manusia.
6. Menguatkan solidaritas antar-kolegium maupun masyarakat luas untuk mengawal kasus Prof. Budi Santoso agar tak menjadi preseden buruk di masa mendatang. (*)