POJOKNEGERI.COM - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengaku miris dengan pemberhentian Prof. Budi Santoso dari jabatannya sebagai Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) yang dilakukan secara sepihak.
Berdasarkan pernyataan sikap KIKA dan SPK yang diterima media ini, pemberhentian Prof. Budi Santoso dari jabatannya bermula dari polemik diberlakukanya Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan atau Omnibus Law bidang kesehatan.
Dalam UU tersebut, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) memberi sinyal akan mendatangkan dokter asing ke tanah air.
Prof. Budi Santoso kerap mengkritik kebijakan tersebut.
Ia menilai kebijakan itu sebagai penegas liberalisasi sektor kesehatan.
Prof. Budi Santoso menilai 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter-dokter yang berkualitas.
Bahkan kualitasnya ia yakini tidak kalah dengan dokter-dokter asing.
Menurutnya, banyak RS vertikal di kota-kota besar di Indonesia, dimana banyak dokter spesialis yang berkompeten dan tidak kalah baik dengan yang ada di luar negeri.
"Namun buntut dari kritik tersebut, Prof. Budi Santoso yang lantang menolak rencana pemerintah mendatangkan dokter asing, dipecat dari jabatannya," demikian rilis KIKA dan SPK yang diterima media.
Menurut KIKA dan SPK, pemberhentian dari jabatan struktural tersebut diduga kuat terkait kritiknya terhadap dokter asing yang hendak ekspansif dan dibuka kran liberalisasinya oleh Menkes BGS.
"Pemberhentian dari jabatan struktural tersebut yang terjadi akibat rangkaian tindakan dari kritik yang dilakukan oleh Prof. Budi Santoso terhadap Menkes BGS," ungkapnya KIKA dan SPK dalam rilis.
Dijelaskannya, upaya pemberhentian itu adalah bukti nyata tentang otonomi kampus PTNBH, yang menggunakan like and dislike untuk melakukan pemberhentian sepihak pimpinan Universitas.
Menurut KIKA, PermenPAN RB Nomor 1 Tahun 2023 telah membawa dampak yang buruk dalam penerapannya.
Setidaknya, ada dua problem dasar dari pemberhentian Prof. Budi Santoso sebagai Dekan FK Unair dan polemik dokter asing.
Problem pertama, bagaimana Omnibus Law Bidang Kesehatan memiliki problem sejak awal pembentukannya, mulai dari pembentukan regulasinya berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang undangan buruk yang tidak transparan dan tidak partisipatif.
Kemudian minimnya partisipasi, bahkan organisasi sejumlah organisasi profesi tidak dilibatkan sehinga mereka menolaknya.
Gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Senayan tak pernah digubris, padahal partisipasi bermakna merupakan kata kunci agar legislasi tersebut baik.
Hal yang tidak kalah fatal adalah memberikan kewenangan besar dan tidak terkontrol (super-body) pada pemerintah dalam mengatur profesi kesehatan.
"Seperti halnya dugaan diambilnya kewenangan organisasi profesi yang kemudian dialihkan ke mekanisme birokrasi Kementerian. Dengan demikian, peranan organisasi profesi tenaga kesehatan bukan saja termarginalkan, melainkan mengooptasi profesi dan keilmuannya," pungkasnya.
Atas tindakan represif yang dialami Prof. Budi Santoso tersebut, KIKA dan SPK menyatakan sikap sebagai
berikut:
1. Mengembalikan posisi Dekan FK Unair seperti sedia kala. Rektor harus bisa menjaga otonomi perguruan tinggi jangan sampai disalahgunakan untuk melayani kepentingan proyek kekuasaan, dan justru bertentangan dengan spirit pencerdasan publik warga bangsa dan daya saing yang kuat bagi dokter Indonesia.
2. Membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang salah arah dan melemahkan sistem kesehatan nasional yang berdampak kepada warga negara. Kasus Prof. Budi Santoso merupakan awal dari banyaknya masalah yang akan terjadi di berbagai Fakultas Kedokteran, insan tenaga kesehatan, atau ilmuwan yang sudah sepatutnya
kewajiban moral menjaga nalar kritisnya. Pemberangusan pandangan akademik terhadap kebijakan negara, justru semakin menegaskan posisi kampus yang sekadar melumasi negara dengan karakter otoriter.
3. Mendesakkan Rektor Unair untuk membatalkan SK Pemecatan sebagai Dekan FK Unair yang berpotensi melanggar secara hukum administrasi dan prinsip fundamental terhadap kebebasan akademik
4. Tindakan Rektor Unairsebagai bagian dari otoritas kampus membatasi kebebasan akademik adalah pelanggaran konstitusi, hukum dan HAM yang melekat pada Prof. Budi Santoso sebagai ilmuwan dan warga negara yang dijamin dalam perundang-undangan
5. Mendesak Kemendikbudristek, Ombudsman RI, dan Komnas HAM untuk turut aktif menginvestigasi dan memberikan jalan terbaik bagi upaya progresif menggunakan wewenangnya dalam perlindungan kebebasan akademik dan hak asasi manusia.
6. Menguatkan solidaritas antar-kolegium maupun masyarakat luas untuk mengawal kasus Prof. Budi Santoso agar tak menjadi preseden buruk di masa mendatang. (*)