4. Sejak dulu pakai pewarna alami
Batik Indonesia sudah menggunakan pewarna alami sejak zaman dulu kala. Bahan-bahan pewarna diambil dari alam, termasuk kayu, bunga, akar, buah, dan juga hewan.
Contohnya, warna biru diambil dari tanaman nila atau indigo, warna merah dari kulit akar mengkudu yang diperkuat dengan tumbukan kayu jirek, serta warna soga dari campuran berbagai jenis kulit kayu tegeran, tingi, dan jambal.
Hanya saja, proses pembuatan pewarna alami ini memang lama dan rumit. “Ketika bicara soal batik ramah lingkungan, kita akan melihat batik dari sisi proses produksi.
Yang paling signifikan adalah urusan pewarna. Sepanjang proses pembuatannya menggunakan pewarna alami, batik itu ramah lingkungan.
"Dalam artian, tidak ada limbah yang membahayakan lingkungan hidup. Namun, pengertian ramah lingkungan perlu diperluas. Kalau pohon kita tebang untuk diolah menjadi pewarna dan lahannya tidak ditanami lagi, artinya jadi kurang ramah lingkungan,” kata William.
Lebih lanjut ia menjelaskan, banyak pewarna sintetis (yang lazim dipakai sejak 1920-an) terbilang tidak ramah lingkungan. Perlu dicari bahan pewarna sintetis yang lebih ramah lingkungan, atau diupayakan agar limbah pewarnaan sintetis diolah hingga aman bagi lingkungan hidup, sebelum kemudian boleh dibuang.
5. Kaya akan motif dan warna
Tidak hanya di Jawa, batik dari berbagai daerah di Indonesia menampilkan motif yang luar biasa banyak dan warna yang khas.
Setiap desain mengungkap makna tersendiri pula. Meski demikian, bukan berarti batik kemudian hanya dibuat dalam motif dan warna yang klasik.
Penyesuaian desain batik terhadap perubahan zaman sangat dibutuhkan untuk menjamin sustainability dalam budaya dan industri batik.
Hal ini, menurut William, antara lain terkait pemantauan dan pengembangan produk batik yang sesuai dengan selera generasi muda.
Ia mencontohkan, pada batik dikenal paduan warna biru dan merah (bang biron). Jika warna tersebut ingin dipertahankan, apakah generasi muda masih dapat menerimanya?
Kombinasi dan intensitas warna perlu disesuaikan dengan selera anak muda, sehingga bisa melayani pasar mereka.
“Jika anak muda menyukai batik, mereka akan siap untuk terus aktif mempromosikan, membuat, dan mengenakan batik di masa mendatang. Hal ini menjamin kesinambungan regenerasi budaya dan industri batik Indonesia.” ujarnya.
ELS, yang punya cukup banyak koleksi baju batik, pada dasarnya sangat suka fashion. Ia mencari batik yang sesuai gayanya. Bagi dia, warna merah dan biru terkesan terlalu tua dan terlalu gelap bagi remaja, sehingga tidak mungkin dipakai dalam kegiatan sehari-hari.
“Saya pernah tampil dengan casual streetwear yang hoodie-nya terbuat dari batik. Ada juga dress batik biru yang saya pakai dalam beberapa video. Saya punya luaran batik warna putih yang bagus banget,” kata ELS, yang tak sabar ingin mempromosikan batik saat kembali ke Los Angeles nanti, berharap banyak orang Amerika yang bisa melihat keindahan batik.
Sementara itu, Vesta yang lebih suka mengoleksi kain batik punya trik sendiri dalam memakai batik. Misalnya, kain batik dengan warna klasik lebih banyak ia pakai ke acara formal, dengan atasan kebaya dan sepatu high heels.
“Kalau ingin tampil kasual, bisa pilih kain dengan warna lain, seperti pink, biru, dan ungu. Tinggal dililitkan saja, lalu pakai jaket dan sepatu kets. Atau, kalau pakai atasan batik, bawahannya bisa jins,” katanya.
(redaksi)