POJOKNEGERI.COM - Semangat mencintai batik pada diri masyarakat Indonesia sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Batik telah menjadi bagian dari kehidupan kita.
Di Hari Batik orang rame-rame pakai batik, setiap kali ada pameran batik pasti selalu ramai pengunjung, menghadiri undangan pernikahan pun rata-rata kini orang mengenakan batik.
ELS, pencipta lagu dan penyanyi internasional asal Indonesia yang berusia 13 tahun, mengenal batik dari keluarganya.
Ia sudah terbiasa pakai batik untuk menghadiri acara formal, misalnya pernikahan. Dan, ia bangga sekali pada batik.
“Soalnya, batik itu punya pretty design. Saya ingat, ada satu brand di luar negeri yang menggunakan motif batik untuk produk mereka, tapi sayangnya tidak menyebut Indonesia. Saya tetap bangga, karena itu berarti mereka menemukan kecantikan pada batik, sehingga banyak orang yang bisa lihat,” kata remaja yang sempat tinggal di Yogyakarta ini.
Itulah satu hal penting yang tak lepas dari pengamatan William Kwan, pemerhati batik dan pendiri Institut Pluralisme Indonesia (IPI).
Ia sangat menghargai upaya untuk mempromosikan batik lewat pameran batik Indonesia di luar negeri.
Hanya saja, ia menyayangkan, setelah itu kurang diikuti dengan tindak lanjutnya. Seandainya saja Indonesia bisa bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional, seperti perusahaan fashion dan interior, sekolah fashion, serta lembaga kebudayaan, dalam mempromosikan batik, maka batik Indonesia bisa lebih mendunia.
Hal ini akan mendatangkan apresiasi budaya dan manfaat ekonomi yang lebih besar melalui pemasaran batik Indonesia di luar negeri.
“Dengan begitu, banyak generasi muda yang mau terlibat di dunia batik, dan batik Indonesia pun akan lestari,” katanya.
Amalla Vesta Widaranti, personal travel consultant dan influencer, juga berpendapat, dilihat dari segi income yang diterima pembatik, saat ini nilainya memang belum menarik perhatian generasi muda sehingga sulit menggandeng orang muda.
Ia pun beri usul.
“Agar batik bisa lestari, kita pakai platform yang disukai anak muda. Gunakan juga suara dari influencer dan role model. Untuk jangka panjang, batik bisa masuk ke dalam kurikulum pelajaran dengan tingkat keterampilan yang berjenjang," ujarnya.
Meski masih menemui banyak tantangan dalam pelestarian batik, kita tak bisa memungkiri bahwa terkait dengan batik #IndonesiaBikinBangga.
Ini 5 alasannya:
1. Batik sebagai media pemersatu
William menjelaskan, di dalam negeri batik merupakan salah satu kain nasional Indonesia di antara beragam wastra Nusantara lain, seperti tenun dan ikat.
Dari Sabang sampai Merauke, hampir semua daerah punya batik. Vesta baru mengetahui soal batik di banyak daerah di luar Jawa, ketika traveling.
“Kalau saya tidak ke sana, mungkin saya juga tidak pernah tahu,” katanya. “Batik dikenakan dalam berbagai kesempatan oleh individu, lembaga, dan kelompok sosial budaya di Indonesia. Artinya, batik mempersatukan kita dari sisi wastra. Itulah mengapa batik menjadi media pemersatu,” kata William.
Berdasarkan konsensus di Indonesia, yang disebut kain batik adalah batik tulis, batik cap, serta kombinasi batik tulis dan batik cap.
Sementara untuk batik printing disebut sebagai tekstil bermotif batik, bukan batik. Mengapa?
“Sebab, proses pembuatannya tidak menggunakan cairan malam panas dan bukan warisan nenek moyang. Teknologi printing ini baru dikenal oleh Indonesia sejak sekitar tahun 1970,” kata William.
2. Hanya budaya batik Indonesia yang sudah diakui UNESCO
Budaya batik sesungguhnya bisa ditemukan di banyak negara, termasuk Cina, India, Jepang, Malaysia, Sri Lanka, dan Afrika Barat.
Karena itu, batik pun merupakan budaya dunia. Namun, dari sekian banyak budaya batik di dunia, yang sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO adalah batik Indonesia.
Dalam inskripsi UNESCO dijelaskan bahwa budaya batik itu harus memenuhi berbagai kriteria, termasuk tinjauan sejarah bahwa sudah sejak lama budaya batik melebur dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Terkait dengan budaya batik, berarti teknik membatiknya pun diakui oleh UNESCO, yaitu menggunakan alat canting dan cap untuk menorehkan cairan malam panas.
“Penegasan ‘cairan malam panas’ ini menjadi penting, karena belakangan beredar pula batik dengan teknologi printing yang memakai malam dingin, yang dapat disalahgunakan sehingga seakan-akan batik tulis,” tutur William.
Ia memandang, pengakuan UNESCO terhadap budaya batik Indonesia menjadikan batik Indonesia punya brand image yang kuat.
Namun, brand image tersebut masih belum dioptimalkan. Padahal, dengan bekal brand image tersebut, Indonesia bisa mengembangkan batik di level internasional.
“Pengakuan UNESCO merupakan kesempatan berharga untuk melestarikan dan mengembangkan budaya batik sebagai warisan nenek moyang Indonesia sesuai perkembangan zaman.” ujarnya.
3. Menyimpan sejarah budaya sangat panjang
G.P. Rouffaer, peneliti dari Belanda, memperkirakan, budaya batik Indonesia diperkenalkan dari India atau Sri Lanka pada abad ke-6 atau ke-7 Masehi.
Namun, pendapat ini sulit dikonfirmasi.
“Yang jelas, sejak zaman Sultan Agung, sekitar tahun 1600-an, istilah ‘batik’ muncul dalam dokumen tertulis,” kata William.
Agak sulit menelusuri sejak kapan batik Indonesia mulai lahir. Karena, iklim Indonesia yang cenderung lembap membuat kain tidak mungkin disimpan lama.
William memperkirakan, secara umum koleksi tertua kain batik Indonesia berusia sekitar 200 - 300 tahun.
Dengan demikian, kita tidak bisa lantas mengklaim bahwa teknik batik pasti berasal dari Indonesia.
“Lain halnya dengan canting. Alat membatik ini memang ditemukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Berkat canting, batik jadi sangat rapi dan halus, karena ujung canting itu serupa ujung pulpen dan memiliki beberapa ukuran. Sebelum canting ditemukan, orang membatik dengan bambu atau kayu yang diruncingkan, sehingga hasilnya tidak bisa rapi,” kata William.
4. Sejak dulu pakai pewarna alami
Batik Indonesia sudah menggunakan pewarna alami sejak zaman dulu kala. Bahan-bahan pewarna diambil dari alam, termasuk kayu, bunga, akar, buah, dan juga hewan.
Contohnya, warna biru diambil dari tanaman nila atau indigo, warna merah dari kulit akar mengkudu yang diperkuat dengan tumbukan kayu jirek, serta warna soga dari campuran berbagai jenis kulit kayu tegeran, tingi, dan jambal.
Hanya saja, proses pembuatan pewarna alami ini memang lama dan rumit. “Ketika bicara soal batik ramah lingkungan, kita akan melihat batik dari sisi proses produksi.
Yang paling signifikan adalah urusan pewarna. Sepanjang proses pembuatannya menggunakan pewarna alami, batik itu ramah lingkungan.
"Dalam artian, tidak ada limbah yang membahayakan lingkungan hidup. Namun, pengertian ramah lingkungan perlu diperluas. Kalau pohon kita tebang untuk diolah menjadi pewarna dan lahannya tidak ditanami lagi, artinya jadi kurang ramah lingkungan,” kata William.
Lebih lanjut ia menjelaskan, banyak pewarna sintetis (yang lazim dipakai sejak 1920-an) terbilang tidak ramah lingkungan. Perlu dicari bahan pewarna sintetis yang lebih ramah lingkungan, atau diupayakan agar limbah pewarnaan sintetis diolah hingga aman bagi lingkungan hidup, sebelum kemudian boleh dibuang.
5. Kaya akan motif dan warna
Tidak hanya di Jawa, batik dari berbagai daerah di Indonesia menampilkan motif yang luar biasa banyak dan warna yang khas.
Setiap desain mengungkap makna tersendiri pula. Meski demikian, bukan berarti batik kemudian hanya dibuat dalam motif dan warna yang klasik.
Penyesuaian desain batik terhadap perubahan zaman sangat dibutuhkan untuk menjamin sustainability dalam budaya dan industri batik.
Hal ini, menurut William, antara lain terkait pemantauan dan pengembangan produk batik yang sesuai dengan selera generasi muda.
Ia mencontohkan, pada batik dikenal paduan warna biru dan merah (bang biron). Jika warna tersebut ingin dipertahankan, apakah generasi muda masih dapat menerimanya?
Kombinasi dan intensitas warna perlu disesuaikan dengan selera anak muda, sehingga bisa melayani pasar mereka.
“Jika anak muda menyukai batik, mereka akan siap untuk terus aktif mempromosikan, membuat, dan mengenakan batik di masa mendatang. Hal ini menjamin kesinambungan regenerasi budaya dan industri batik Indonesia.” ujarnya.
ELS, yang punya cukup banyak koleksi baju batik, pada dasarnya sangat suka fashion. Ia mencari batik yang sesuai gayanya. Bagi dia, warna merah dan biru terkesan terlalu tua dan terlalu gelap bagi remaja, sehingga tidak mungkin dipakai dalam kegiatan sehari-hari.
“Saya pernah tampil dengan casual streetwear yang hoodie-nya terbuat dari batik. Ada juga dress batik biru yang saya pakai dalam beberapa video. Saya punya luaran batik warna putih yang bagus banget,” kata ELS, yang tak sabar ingin mempromosikan batik saat kembali ke Los Angeles nanti, berharap banyak orang Amerika yang bisa melihat keindahan batik.
Sementara itu, Vesta yang lebih suka mengoleksi kain batik punya trik sendiri dalam memakai batik. Misalnya, kain batik dengan warna klasik lebih banyak ia pakai ke acara formal, dengan atasan kebaya dan sepatu high heels.
“Kalau ingin tampil kasual, bisa pilih kain dengan warna lain, seperti pink, biru, dan ungu. Tinggal dililitkan saja, lalu pakai jaket dan sepatu kets. Atau, kalau pakai atasan batik, bawahannya bisa jins,” katanya.
(redaksi)