POJOKNEGERI.COM - Masakan Indonesia dikenal berlimpah kombinasi berbagai jenis bumbu.
Keragaman rasa, mulai dari pedas, asin, gurih, dan manis berpadu harmonis, ditambah aroma-aroma yang begitu menggugah selera.
Tapi, rupanya masakan kaya bumbu seperti ini tidak lazim ditemukan pada budaya kuliner di Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, cita rasanya tak kalah nikmat.
Dari pengalaman yang dipetiknya, Ade Putri, seorang culinary storyteller, menyimpulkan bahwa kuliner NTT memiliki karakteristik yang khas, yaitu penggunaan bumbu yang sangat minimalis.
“Memandang dari segi rasa, sepertinya penduduk NTT sudah terbiasa dengan rasa bahan pangan yang mereka gunakan. Seperti karakter masakan dari daerah Indonesia Timur yang lain, kuliner NTT menonjolkan bahan asli, tidak memberi banyak tambahan bumbu sebagai cita rasa. Jadi, proses memasaknya simpel saja,” kata influencer yang sempat menemani Gordon Ramsay, ketika sang celebrity chef sedang bertualang rasa di Sumatra Barat.
Renata Puji Sumedi Hanggarawati, Agroecosystem Program Manager dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), menambahkan bahwa setelah menangkap berbagai jenis ikan dari laut, masyarakat NTT tidak memberi bumbu macam-macam.
“Hanya dibakar saja, misalnya. Sehingga, rasa daging ikan laut yang manis bisa dinikmati. Itu karena ikannya segar dari laut. Atau, menu favoritnya adalah ikan kuah asam. Hanya dengan rempah jahe, lengkuas, tomat, garam, dan irisan daun jeruk, cita rasanya luar biasa.” ujarnya.
Puji bercerita, sumber pangan di kawasan timur Indonesia berlimpah. Dalam tradisi Suku Lamaholot di Flores Timur juga dikenal legenda Tonu Wujo, tokoh perempuan yang rela mati dan tubuhnya terburai menjadi beragam sumber pangan, seperti ragam benih biji-bijian dan sayuran.
Pola konsumsi pangan lokal menjadi tradisi yang turun-temurun. Dari sumber karbohidrat, protein nabati, hingga protein hewani darat dan laut. Pangan lokal tersedia di alam dan dikelola secara arif dan tetap bergizi. Namun, seiring perkembangan teknologi dan modernisasi, kebiasaan baik itu meluntur, termasuk perubahan ke pola konsumsi instan.
“Kita perlu meyakinkan bahwa sumber pangan lokal mereka sangat bergizi dan mengajak mereka untuk kembali mengonsumsinya. Dengan demikian, para petani akan terus menanamnya. Selain bisa dikonsumsi sendiri, petani juga bisa mendapatkan nilai ekonomi saat menjual hasil panen. Jenis tanamannya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah dan terbukti adaptif. Tidak dipaksa harus menanam tanaman tertentu yang diperkenalkan dari luar,” katanya.
Bicara soal bahan pangan lokal, #IndonesiaBikinBangga karena jenisnya memang sangat banyak. Setiap daerah punya bahan pangan yang khas dan unik.
Di NTT Anda akan bisa menemukan 5 bahan berikut:
SUMBER KARBOHIDRAT
Sorgum
Beberapa tahun belakangan ini sorgum sedang naik daun. Sebab, bahan pangan ini bebas gluten, sehingga bisa menjadi solusi bagi anak berkebutuhan khusus.
Ade sendiri sudah mengonsumsi sorgum selama sekitar 3 tahun. Karena tidak hobi baking, maka ia memakai sorgum sebagai pengganti nasi.
“Tekstur dan rasanya tidak jauh berbeda dibandingkan nasi dari beras. Cara dan lama memasaknya pun sama, bisa juga dengan rice cooker. Hanya takaran airnya saja yang sedikit berbeda, tapi saran takaran air biasanya dicantumkan pada kemasan. Aku pernah membuat kreasi bubur manado dari sorgum. Enak banget! Belum lama ini aku juga baru mencoba membuat pancake dari tepung sorgum,” kata Ade, sambil menyebutkan bahwa produk sorgum kini lazim didapat di toko bahan makanan sehat.
Ade juga senang mencampur-campur bahan. Terinspirasi dari masakan internasional yang gemar menambahkan biji-bijian, seperti barley, ia terkadang mencampur beras dan sorgum. “Dan, orang pikir yang ia makan itu adalah barley, padahal sorgum. Bagusnya lagi, sorgum juga merupakan sumber pangan tinggi protein. Orang yang harus mengonsumsi plant base food bisa mendapatkan protein dan karbohidrat sekaligus dari sorgum,” kata Ade.
Puji bercerita, di NTT terdapat banyak sekali varian sorgum yang kaya serat dan tumbuh subur di lahan kering. Dilihat dari warna sangat beragam, ada warna putih, cokelat, kuning, merah, merah marun, hingga hitam. Seperti juga padi, ada sorgum yang pera, pulen, dan ada yang mirip ketan.
“Keberadaan sumber pangan ini tak bisa dipisahkan dari budaya. Jika sumber pangan hilang, maka budaya akan berubah atau hilang. Misalnya, Ende punya upacara Ngoa Lolo untuk sorgum. Kalau sorgum sampai hilang, upacara itu tentu tidak ada lagi,” katanya.
Sorgum sudah terbukti baik bagi kesehatan. Menurut Puji, di rumah sakit pun pasien diberi makanan gluten free, termasuk sorgum, karena bisa menurunkan kadar gula darah.