“Dalam situasi yang sangat mencekam, ketiga perwira tersebut telah mengambil suatu strategi untuk melumpuhkan Dewan Revolusi, yakni dengan menutup jalan keluar-masuk Ibukota Jakarta, menelusuri keberadaan para Jenderal TNI AD yang telah diculik dan memerintahkan Pangima Daerah Militer Jaya, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Umar Wirahadikusumah untuk mengumumkan bahwa Ibukota Jakarta dalam keadaan darurat,” tambah Amelia.
Selain itu, strategi yang tidak kalah pentingnya adalah untuk merebut kembali kanal-kanal informasi yang telah dikuasai oleh Dewan Revolusi, yaitu Radio Republik Indonesia dan instansi Telekomunikasi.
Dalam menjalankan strategi ini, Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhi Wibowo diperintahkan untuk merebut kembali Radio Republik Indonesia dan instansi Telekomunikasi.
Kemudian, sejarah mencatat Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, yang kelak menjadi Mertua dari Presiden Republik Indonesia ke-6, Jenderal TNI (Purn.) DR. (HC) H. Susilo Bambang Yudhoyono, berhasil merebut dan menyelesaikan proses perebutan kedua instansi tersebut dalam waktu 25 (dua puluh lima) menit.
“Perwira-perwira inilah yang memainkan peran utama dalam memulihkan kestabilan politik Indonesia, sebagai insan yang menghargai sejarah, ada baiknya kita tidak melakukan upaya denialisme sejarah, atau penyimpangan sejarah,”lanjut Amelia.
Selanjutnya, bangsa Indonesia mengalami masa-gelap yang cukup panjang dalam menumpas Partai Komunis Indonesia dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berada dibawah naungannya, sampai ke akar-akarnya.
Tidak bisa dibayangkan situasi politik pada saat itu, dengan berbagai ancaman instabilitas politik yang dipicu oleh berbagai kekuatan Partai Komunis Indonesia dan organisasi kemasyarakatan dibawahnya. Apabila ketiga perwira salah dalam mengambil keputusan dalam berstrategi, maka bukan saja nyawa yang menjadi taruhannya, akan tetapi kestabilan politik Indonesia juga akan dipertaruhkan.
“Seluruh eksekusi strategi penting tersebut dilakukan dengan risiko tinggi, karena tidak adanya perintah atau instruksi langsung dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selanjutnya, sejarah mencatat bahwa Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, dan kemudian diarahkan ke Istana Bogor.”