Hal ini diakui oleh almarhum Buyut penulis sendiri di mana waktu itu mereka melakukannya karena mereka mulai membuka diri terhadap berbagai proyek pembukaan lahan hutan untuk berbagai kepentingan seperti, kayu, sawit, dan tambang.
Dengan mereka membuka diri terhadap berbagai industri itu maka diikuti pula dengan raibnya jutaan hektar hutan dan tanah mereka.
Dari Data Yayasan Telinga Panjang, tak lebih 100 orang dari kalangan suku Dayak yang memiliki tradisi telinga panjang dan merajah badan di masa sekarang ini, hutan habis, budaya lenyap begitu lah buah cempedak busuk yang harus Masyarakat Adat Dayak telan akibat dari orang-orang pintar yang mengaku dirinya paham terhadap lingkungan.
Masalah konflik tanah ulayat sering kali melibatkan Masyarakat Adat Dayak maupun dari pihak luar, perusahaan, dan pemerintah, hal ini terjadi sudah disampaikan sebelumnya karena ketidakmengertian dari pihak luar, seperti pemerintah dan perusahaan, contohnya seperti di wilayah Mahakam Ulu maupun di wilayah Kalimantan lainnya, kepemilikan tanah menurut penulis cenderung seperti hak guna pakai bukan hak guna pribadi.
Masyarakat Dayak masih bisa mengklaim tanah-tanah dari peninggalan leluhurnya, dengan berdasarkan bukti bekas-bekas pendirian kampung oleh leluhurnya dahulu, pohon-pohon buah yang ditanami, sarang madu, dan ladang yang sudah tidak ditanami lagi.
Masyarakat Dayak tidak mengenal sertifikat maupun patok-patok tanah, kepemilikan sertifikat di kalangan masyarakat Dayak sebenarnya di dorong ketika pemerintahan Orde Baru sedang bertahta, hal ini bukan sekedar sebagai bukti legal-formal semata, tetapi untuk mempermudah komodifikasi dimana lahan hanya sebagai objek komoditas semata.
Orientasi politik agraria di masa Orba menjadikan tanah semata-mata sebagai lahan-lahan empuk bagi investor asing, sementara masyarakat adat dikerdilkan dengan berbagai cara.
Begitu pula dengan proyek transmigrasi pada kala itu pemerintah Orba menjalankan yang mereka akui sebagai tanahnya negara, tetapi padahal sesungguhnya berada di wilayah komunal dari masyarakat adat. Hidup dalam rasa kebersamaan di dalam rumah lamin panjang, saling berbagi Babi antar sesama penghuni tak perlu duit untuk membalasnya, kini cara hidup itu tinggal cerita dalam buku dongeng anak kecil untuk penghantar tidur.
Akibat kampanye-kampanye yang dilakukan pemerintah bahwa kehidupan seperti itu tak sehat dan rawan bencana kebakaran, yang sebenarnya kebakaran itu dari hutan-hutan yang dibakar oleh pihak perusahaan.