Namun, sambung Praswad, di era kepemimpinan Firli Bahuri untuk mengeluarkan surat DPO terhadap Harun Masiku sangat lambat. Praswad menghitung, KPK era Firli Bahuri perlu satu tahun memutuskan Harun Masiku sebagai DPO.
“Itu bolak-balik bolak-balik, bahkan surat DPO-nya 1 tahun keluarnya, dari tanggal 8 Januari itu sampai tahun 2021 baru keluar DPO dan red noticenya untuk ditetapkan sebagai, tidak hanya buronan di Indonesia tapi buronan di seluruh dunia,” ucap Praswad.
Padahal, kata Praswad, secara administratif dan dalam proses penyidikan hingga pengumpulan alat bukti tidak ada masalah sama sekali.
“Tapi administrasi memakan waktu bertahun-tahun, ini yang saya juga di internal pada saat itu bertanya-tanya, tapi,” kata Praswad.
Praswad menuturkan, lambatnya administrasi penanganan kasus suap Wahyu Setiawan yang melibatkan Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto pada akhirnya menjadi pertanyaan penyidik kala itu.
Sebab dalam kerja KPK, kata Praswad, biasanya pencekalan dikeluarkan langsung dalam hitungan hari setelah penetapan tersangka bukan hitungan tahun.
“Ini juga jadi satu pertanyaan bagi kita, kenapa administrasinya sebegitu sulitnya, karena proses di penyidikan KPK itu biasanya cepat dan seperti sekarang ini, misalnya begitu tetapkan tersangka, langsung keluar cekal. Jadi memang SOP-nya ketat sekali dan clear,” pungkasnya.
(*)