"Setelah selesai dibangun, jembatan tersebut berpotensi mengalihkan pelayaran dari Malaysia dan Singapura karena bertujuan menciptakan jalur perdagangan baru yang menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik" Rektor Malaysia University of Science and Technology, Premkumar Rajagopal. Kompas.com>>>
Pakar yang berpengalaman dalam rantai pasokan selama 13 tahun ini mengatakan, megaproyek senilai kurang lebih 1 triliun baht atau sekitar Rp 437 triliun tersebut juga diklaim akan mempersingkat waktu pengangkutan melalui Selat Malaka selama beberapa hari.
Di sisi lain, para kritikus jembatan darat berbondong mempertanyakan kelayakan ekonomi proyek tersebut.
Melewati Selat Malaka mungkin akan mengurangi waktu berlayar.
Namun, menurunkan muatan barang di satu pelabuhan, mengangkutnya ke pelabuhan lain, kemudian memuatnya kembali bisa memakan waktu lama.
Imbasnya, perusahaan kapal mungkin justru akan mengalami peningkatan biaya transportasi.
Selain itu, jembatan darat pun berdampak negatif terhadap lingkungan serta merugikan industri pariwisata dan perikanan di Thailand selatan.
Belum lagi, jika menilik secara geopolitik, kepemilikan jembatan darat mungkin akan menyeret Thailand ke dalam pusaran persaingan Amerika Serikat-China, terutama jika Beijing mendanai pembangunannya.
Tidak terpengaruh oleh argumen-argumen tersebut, Srettha mengaku bertekad untuk menyelesaikan proyek tersebut, bahkan telah mengusulkan batas waktunya.
(*)