Kembali apabila melihat hak konsesi PT MEG 16.583 hektare yang diperuntukkan untuk kawasan wisata, maka PT MEG harus membayar UWT untuk perpanjangan 20 tahun, jumlahnya mencapai Rp5,9 triliun untuk industri, dan jasa, perdagangan sebesar Rp12,8 triliun lebih dan wisata Rp6,6 triliun lebih, sebagaimana diurai sebelumnya, 26 Agustus 2024 adalah tanggal jatuh tempo.
Kasus bentrokan warga Pulau Rempang (masyarakat adat) diduga untuk mencairkan cuan-cuan tadi: Rp3,6 triliun lebih sesuai kesepakatan 2004, ditambah UWT jelang jatuh tempo Rp5,9 triliun lebih, Rp6,6 triliun lebih dan Rp12,8 triliun lebih, tergantung kesepakatan PT MEG dan BP Batam peruntukkan lahannya.
Intinya, PT MEG tak akan mau membayar cuan itu jika tidak ada serah terima, dan serah terima baru bisa terjadi jika lahan tersebut kosong dari masyarakat di Pulau Rempang.
Nah, pertanyaannya, dari mana pemerintah menperoleh uang untuk merelokasi warga Pulau Rempang, yang disebut-sebut telah mencapai Rp1,8 triliun. Uang relokasi itu disebut-sebut include biaya bangun rumah dan biaya pengamanan, nah loh….! Makanya ada istilah “bila perlu warga dipiting.”
Nah, dari kasus Pulau Rempang ini, kita akan banyak menyaksikan “orang-orang galak,” ya, semoga saja “galak-galaknya” bukan untuk cari komisi, main proyek, korupsi dengan menyakiti masyarakat adat Pulau Rempang. Bahkan kabarnya, ada segelintir oligarki kecil-kecilan ikut nimbrung di antara “kekusutan” Pulau Rempang.
Jangan sampai, keruwetan Pulau Rempang menjadi tamparan keras atau menjadi preseden buruk bagi Jokowi sebagai presiden jelang akhir kepemimpinannya.
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
(*)