POJOKNEGERI.COM - Pengamat politik dari Universitas Pamulang (Unpam) Sonny Majid menuliskan turu memberikan sorotannya terkiat dengan bentrok antara aparat dengan masyarakat Pulau Rempang.
Dalam opininya yang berjudul "Putaran cuan yang mandek di Pulau Rempang" Dosen Universitas Pamulang (Unpam) ini menyingung soal pundi-pundi cuan yang diduga bakal mengalir ke kaum oligarki di lingkar kekuasaan.
Untuk lebih lengkapkapnya berikut opini lengkap Sonny Majid:
Putaran cuan yang mandek di Pulau Rempang
Masa iya kasus bentrokan aparat dengan masyarakat Pulau Rempang sebatas komunikasi yang buruk? Oh, tidak semudah itu “Rudolfo.” Terus terang saja ini soal cuan, ya pundi-pundi cuan yang diduga bakal mengalir ke kaum oligarki di lingkar kekuasaan.
Selain menggunakan narasi, warga Pulau Rempang tak mengantongi sertifikat, tidak berhak mendiami Pulau Rempang, selalunya kekuasaan mendorong isu bahwa investasi akan membuka lapangan kerja.
Dalam kajian makro ekonomi mahasiswa semester 3 juga tahu, bahwa nilai investasi paling tidak mesti sebanding dengan tenaga kerja yang diserap.
Jangan sampai, angka investasi di Pulau Rempang yang katanya mencapai Rp172 triliun lebih itu hanya dagelan “isu” para pejabat yang gonjang-ganjing seolah-olah, padahal hanya membela si pengusaha.
Dari berbagai sumber yang telah beredar di ruang publik, ceritanya begininya di Pulau Rampang:
Sekitar 18 April 2023, PT Makmur Elok Graha (MEG), yang disebut-sebut bagian dari kartel perusahaan Artha Graha grup milik Tomy Winata dapat investor dari China, Xinyi Glass Holding, Xinyi Grup.
PT MEG ini mayoritas sahamnya dikuasai PT Wisesa Makmur Raya, dan PT Inti Bahana Indah Semesta sesuai akta 1 Agustus 2023.
Sedangkan Xinyi Glass Holding adalah perusahaan China yang bergerak di bisnis kaca, dengan kode saham 868, di listing Bursa Hongkong. Xinyi Glass Holding inilah yang diduga melakukan kesepakatan dengan PT MEG untuk penyediaan lahan di Pulau Rempang, dan meminta agar PT MEG langsung mengurus legalitas lahan di Pulau Rampang.
Pada 31 Desember 2022, Xinyi Glass Holding kabarnya menggelontorkan cuan sebesar Rp5 triliun yang digunakan untuk mengakuisisi pabrik dan konstruksi China, Malaysia dan Indonesia.
Dan akhirnya PT MEG memegang konsesi (Hak Guna Bangunan-HGB) selama 80 tahun di Rempang seluas 16.583 hektare. Ini sesuai kesepakatan dengan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam disingkat BP Batam, pada 26 Agustus 2004.
Selama mengantongi konsesi, PT MEG diharuskan membayar Uang Wajib Tahunan (UWT), yang di tahun 2004 ditetapkan Rp21.750 setiap meter persegi. Jika dijumlah berdasarkan luas konsesi 16.583 hektare, besaran UWT yang dikeluarkan PT MEG Rp3,6 triliun.
UWT sebesar Rp3,6 triliun inilah, kabarnya pernah diusut Bareskrim Polri, karena terindikasi menyebabkan kerugian negara. Ingat UWT ini adalah bagian dari perjanjian PT MEG dengan BP Batam. Bareskrim Polri mengendus, kemungkinan UWT tersebut belum dibayarkan oleh PT MEG.
Alasan PT MEG tidak mau membayar UWT bisa saja karena Pulau Rempang belum dikosongkan dan diserahterimakan, yang barangkali menjadi syarat serah terima UWT. Namun, kasus ini mengendap.
Nah, pada 26 Agustus 2024 sebagai tanggal jatuh tempo, PT MEG kudu membayar UWT lagi sesuai perjanjian sebagai syarat perpanjangan konsesi selama 20 tahun. Jika mengacu pada peruntukkan industri, maka UWT per meter dikenakan Rp36.000 per meter, jasa dan perdagangan Rp77.000 per meter, pariwisata Rp38.800 per meter (pastinya silahkan cek di situs BP Batam).
Kembali apabila melihat hak konsesi PT MEG 16.583 hektare yang diperuntukkan untuk kawasan wisata, maka PT MEG harus membayar UWT untuk perpanjangan 20 tahun, jumlahnya mencapai Rp5,9 triliun untuk industri, dan jasa, perdagangan sebesar Rp12,8 triliun lebih dan wisata Rp6,6 triliun lebih, sebagaimana diurai sebelumnya, 26 Agustus 2024 adalah tanggal jatuh tempo.
Kasus bentrokan warga Pulau Rempang (masyarakat adat) diduga untuk mencairkan cuan-cuan tadi: Rp3,6 triliun lebih sesuai kesepakatan 2004, ditambah UWT jelang jatuh tempo Rp5,9 triliun lebih, Rp6,6 triliun lebih dan Rp12,8 triliun lebih, tergantung kesepakatan PT MEG dan BP Batam peruntukkan lahannya.
Intinya, PT MEG tak akan mau membayar cuan itu jika tidak ada serah terima, dan serah terima baru bisa terjadi jika lahan tersebut kosong dari masyarakat di Pulau Rempang.
Nah, pertanyaannya, dari mana pemerintah menperoleh uang untuk merelokasi warga Pulau Rempang, yang disebut-sebut telah mencapai Rp1,8 triliun. Uang relokasi itu disebut-sebut include biaya bangun rumah dan biaya pengamanan, nah loh….! Makanya ada istilah “bila perlu warga dipiting.”
Nah, dari kasus Pulau Rempang ini, kita akan banyak menyaksikan “orang-orang galak,” ya, semoga saja “galak-galaknya” bukan untuk cari komisi, main proyek, korupsi dengan menyakiti masyarakat adat Pulau Rempang. Bahkan kabarnya, ada segelintir oligarki kecil-kecilan ikut nimbrung di antara “kekusutan” Pulau Rempang.
Jangan sampai, keruwetan Pulau Rempang menjadi tamparan keras atau menjadi preseden buruk bagi Jokowi sebagai presiden jelang akhir kepemimpinannya.
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
(*)