"Kenapa kami melakukan evakuasi, karena saat itu petugas 112 sedang menangani pasien covid (Covid-19) lainnya. Dan kebetulan juga, almarhum ini tinggal satu lingkungan sama kami," tutur Nanang bercerita.
Berbekal informasi, jika TH mengalami keluhan kesehatan seperti demam, sakit kepala dan pilek Relawan Papadan yang berjumlah tiga orang kala itu melengkapi diri dengan mengenakan pakaian hazmat.
"Gejala keluhan ini kan mengarah ke dugaan itu (Covid-19) dan kami antisipasi jadi pakai APD (alat pelindung diri) lengkap," kata Nanang.
Selain itu, lanjut Nanang, ia juga mendapatkan informasi dari warga sekitar jika TH sejak lima hari terakhir telah melakukan isolasi mandiri (isoman) di kediamannya. Akhirnya, sekitar pukul 18.30 Wita kami melakukan perjalanan menuju rumah sakit umum (RSUD AW Sjahranie)," jelasnya.
Setibanya di RSUD AW Sjahranie, Nanang beserta dua rekannya terkejut sebab pihak sekuriti rumah sakit berplat merah itu dengan tegas menolak kedatangan mereka, sebab ruangan perawatan sedang penuh. Tak pasrah begitu saja, Nanang coba meminta agar sekuriti lebih dulu mengkomunikasikan ke atasannya. Lantaran kondisi TH yang sudah dalam keadaan kritis dan tak lagi bisa menunda perawatan medis.
"Sekuriti itu sempat telpon gitu di dalam. Kemudian dia keluar lagi dan bilang di sini sudah penuh silahkan ke rumah sakit lainnya," lanjutnya. Mendengar hal tersebut, Nanang bersama dua rekannya langsung bergegas menyalakan mesin kendaraan roda empatnya dan langsung menuju Rumah Sakit SMC.
Namun setibanya di rumah sakit kedua ini, sekira pukul 19.20 Wita Nanang kembali mendapat penolakan serupa dari sekuriti setempat.
"Di SMC juga ditolak, katanya karena ruangan penuh dan obat-obatan sudah habis," sebutnya.
Tak putus asa, Nanang bersama dua rekannya kembali tancap gas dan bergegas menuju RSUD IA Moeis yang berlokasi cukup jauh dari RS SMC. Di rumah sakit ketiga ini, Nanang kembali mendapat penolakan dengan alasan serupa. Melihat kondisi TH yang semakin kritis dan nafas yang tersengal-sengal, Nanang lantas meminta seorang anggotanya kembali memasuki ruangan RSUD IA Moeis untuk meminta bantuan pertama berupa suplai tabung oksigen.
"Dikatakan habis oksigen, saya kaget. Apalagi melihat almarhum semakin kritis. Karena evakuasi ini berdasarkan rujukan 112, akhirnya kami minta petugas rumah sakit untuk lakukan pemeriksaan lebih lanjut," kata Nanang. "Terus datang dua orang petugas rumah sakit ke ambulans kami. Mereka pasang alat gitu, dan dinyatakan almarhum sudah meninggal saat itu," kata Nanang lagi.
Untuk pemulasaran saja, masyarakat bisa kesusahan
Pelayanan di sektor kesehatan pun juga tak bisa menghandle semua. Publik kembali dibingungkan dengan adanya rumah sakit yang tak menerima proses pemulasaran jenazah Covid-19 yang sebelumnya lalui proses isolasi mandiri. Diketahui, beredar sebuah foto di media sosial, yang memperlihatkan manajemen RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda memasang spanduk menolak pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 dari luar rumah sakit.
Spanduk pemberitahuan itu terpasang tepat di depan ruang jenazah di RSUD AWS Samarinda.
"Mohon maaf sementara kamar jenazah tidak menerima pulasara dari luar RSUD AWS," isi tulisan spanduk dalam foto tersebut.
dr David Hariadi Masjhoer, Direktur RSUD AWS Samarinda menyebut pihaknya telah banyak menerima pasien isolasi mandiri meninggal di rumah. Hal itu dianggap menambah beban petugas di RSUD AWS.
"Saat ini banyak yang meninggal isoman di rumah dikirim ke RSUD AWS. Ini menambah beban petugas kami," kata dr David, dihubungi Selasa (20/7/2021).
Direktur RSUD AWS Samarinda mengungkap pihaknya pernah melakukan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 hingga 17 jenazah dalam sehari. Akibatnya petugas pemulasaraan di RSUD AWS menyerah lantaran kelelahan.
"Yang terbanyak 17 jenazah pernah dilakukan sehari. Setelah itu petugas menyerah kelelahan, jadi ditunda besoknya," jelasnya.
Sebenarnya rumah sakit pelat merah tersebut memang tidak memasang target berapa jumlah maksimal jenazah yang bisa dipulasara. Hanya saja pihak RS terkendala keterbatasan petugas.
"Tidak ada target jumlah. Jumlah petugas saya kurang hafal, sekitar 11 orang," sambungnya.
Tidak ingin dianggap menelantarkan jenazah pasien Covid-19, pihaknya telah menyiapkan pendampingan pelatihan pemulasaraan kepada relawan di tiap kecamatan.
"Kami sudah melakukan pendampingan pelatihan pemulasaran jenazah Covid-19 di kecamatan-kecamatan, yang diadakan Pemkot Samarinda," paparnya.
Namun, pihak RSUD AWS tidak menyiapkan tim khusus untuk melakukan pemulasaraan jenazah isoman. Hal itu akan menjadi kewenangan dari Pemkot Samarinda.
"Untuk yang meninggal isoman di rumah itu wewenang pemkot. Kami tidak menyiapkan tim khusus," ujarnya.
Sementara itu, Muhammad Samsun, Wakil Ketua DPRD Kaltim, menyayangkan kebijakan RSUD AWS Samarinda, tidak menerima pemulasaran dari jenazah pasien isolasi mandiri.
"Gak boleh mereka itu. Memang berapa banyak sih pasien yang meninggal di AWS setiap harinya. Mau bagaimana lagi kalau itu memang tugasnya rumah sakit mestinya dijalankan," ungkap Samsun.
Menurutnya jika pihak rumah sakit tidak sanggup mengemban tugas pemulasaraan bisa dikerjasamakan dengan lembaga maupun LSM yang bisa bergerak ke pemulasaraan jenazah. Itu pun perlu dilakukan edukasi mendalam.
Pasalnya kalau bukan nakes siapa lagi yang paham protokol kesehatan,
"Ada banyak, seperti PMI ada lembaga-lembaga sosial, rukun kematian," jelasnya. Hanya saja menurut Samsun, tempat pemulasaraan mesti tersentral. Pilihan terbaik saat ini adalah di rumah sakit. "Memang tempatnya harus tersentral. Kalau memang harus di rumah sakit ya di rumah sakit untuk pemulasaraannya," tegasnya.
Jangan sampai dengan masih minimnya edukasi ke masyarakat terkait protokol pemuladaraan jenazah Covid-19, warga mengurus jenazah sendiri. Menurut politisi PDIP Kaltim ini hal tersebut justru berbahaya bagi masyarakat.
"Jangan sampai jenazah dibiarkan begitu saja, kemudian dirawat tidak sesuai prokes ini justru berbahaya," imbuhnya. "Kita punya kok cadangan orang-orang baik, yang mau bekerja sosial untuk hal itu," katanya.