“Ini adalah jalan damai dari keinginan sekaligus kebesaran hati kelompok Islam sebagai mayoritas dengan merelakan tujuh kata yang sebelumnya menyertai sila ketuhanan Yang Maha Esa untuk dihapus. Tujuh kata itu (adalah) 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'," jelasnya.
Lebih jauh, Gus Yaqut menjelaskan, bahwa Pancasila berfungsi praktis, sengaja dipilih untuk menjamin suatu kesatuan dan integrasi politik yang bernama Republik Indonesia. Dengan itu, Pancasila diposisikan sebagai visi bersama bagi pencapaian tujuan negara bangsa yang diperjuangkan oleh Pancasila.
Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau dasar negara. Hal itu tampak dari konstruksi Soekarno yang secara spesifik mengomparasikan Pancasila secara setara dengan filsafat dan ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme dan Liberalisme.
"Dengan demikian, lepas dari retorika Soekarno, Pancasila bukanlah suatu ideologi politik partikular yang tertutup dan sistematis total sebagaimana Marxisme maupun Liberalisme," katanya.
Soekarno sendiri, menurutnya, lebih menekankan fungsi implisit Pancasila sebagai sign of unity (penanda persatuan) untuk Republik yang merdeka.
Dalam perumusan lain, Profesor Moh Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia sekaligus Proklamator bersama Soekarno, mengatakan bahwa Pancasila mengandung dua fundamen, yaitu (1) fundamen moral pada sila pertama dan (2) fundamen politik pada sila ketiga, keempat, dan kelima.
“Dengan itu, apabila kita tafsirkan dalam kerangka politik kewargaan negara, Pancasila dapat dipahami sebagai negara yang mendorong rakyatnya hidup berdasarkan prinsip-prinsip moral berketuhanan dan kemanusiaan dan prinsip-prinsip politik menjaga persatuan berdemokrasi dan menjunjung keadilan sosial," ujarnya.
Dalam alam pikiran dan perilaku, orang Indonesia yang menyediakan sarana perspektif yang dibutuhkan terutama di saat orang Indonesia secara kolektif menghadapi persoalan-persoalan besar yang dihasilkan oleh sejarah dan zamannya.