Fokus Perbaikan Tata Kelola Pertambangan PWYP Indonesia menyebut bahwa pencabutan 1.749 izin tambang mineral dan 302 izin tambang batu bara, sekaligus penciutan lahan PKP2B yang diperpanjang menjadi IUPK, justru menjadi momentum untuk fokus terhadap perbaikan tata kelola dan saat yang tepat melakukan moratorium izin, khususnya sektor batubara.
Sementara itu Buyung Marajo, Koordinator Pokja 30 Kalimantan Timur, salah satu anggota koalisi PWYP Indonesia menyampaikan bahwa berdasarkan catatan JATAM menggunakan data citra satelit, terdapat 3.033 lubang bekas tambang, termasuk tambang batubara, yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dari jumlah itu, sekitar 1.735 lubang tambang batubara berada di Kaltim. Lubang itu lebih menyerupai danau yang berukuran mulai dari ratusan meter persegi hingga puluhan hektar. Namun, merujuk data Dinas ESDM Kalimantan Timur per 2018, terdapat 539 lubang bekas tambang di seluruh wilayah Kaltim.
Kebanyakan lubang bekas tambang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara (264 lubang bekas tambang) dan Kota Samarinda (130 lubang bekas tambang). JATAM Kaltim juga mencatat dalam rentang waktu tujuh tahun, 2011-2024, sudah 47 nyawa melayang karena tewas tenggelam di bekas lubang galian tambang batubara yang tidak direklamasi.
“Kita semua tahu, banyak wilayah eks PKP2B berada di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Lebih baik selesaikan dulu persoalan-persoalan buruknya tata kelola pertambangan ini alih-alih menawarkan WIUPK kepada Ormas keagamaan.” ujar Buyung.
Sehingga Buyung mengingatkan agar agenda penawaran WIUPK eks PKP2B secara prioritas kepada Ormas Keagamaan juga bisa memicu potensi konflik kepada masyarakat lingkar tambang, masyarakat adat serta dengan ormas-ormas kesukuan yang ada di daerah.
“Ini yang harus menjadi perhatian Pemerintah! bukan sekedar bagi-bagi konsesi saja!” tegas Buyung.
Saatnya Moratorium Izin Tambang Batubara Di tahun 2024 ini, Kementerian ESDM menyetujui total tonase produksi batubara dalam negeri pada tahun ini mencapai 922,14 juta ton. Ini juga sudah melanggar ketentuan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2027 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dimana produksi batubara Indonesia harus dibatasi menjadi 400 juta ton saja sejak 2009.
Saat ini saja sudah lebih dari 2 (dua) kali lipat dari ketentuan yang diberikan RUEN sebagai acuan kebijakan energi nasional.
“Yang diperlukan saat ini adalah Moratorium IUP/K batubara! bukan malah pemberian prioritas penawaran WIUPK kepada Ormas Keagamaan. Kami khawatir akan terjadi ledakan produksi batubara yang mengancam keberhasilan pelaksanaan transisi energi di Indonesia.” tandas Aryanto.
(tim redaksi)