Dengan pemaparan itu, Koalisi PWYP lantas menanyakan mengapa UU Minerba memberikanprioritas IUPK kepada BUMD dan Swasta melalui mekanisme lelang WIUPK secara bertahap, dan bukan kepada Ormas Keagamaan? Karena ini bentuk pengejawantahan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945.
Sebab yang dikhawatirkan, Menteri pengusul Pasal 83A dalam PP Nomor 25 Tahun 2024 tidak paham konteks ini, dan hanya berupaya menjalankan wacana Presiden Jokowi pada saat pidato Sambutan Presiden pada Peresmian Pembukaan Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akhir Desember 2021 Seharusnya Menteri-Menteri pembantu Presiden bisa memberikan advise kepada Presiden, bukan malah menjerumuskan Presiden untuk meneken PP yang melanggar UU Aryanto kembali mengingatkan bahwa terlalu banyak risiko yang sepertinya Pemerintah tidak siap untuk mengimplementasikan pasal ini, mulai dari resiko teknis dan mekanisme lelang WIUPK, risiko teknis pertambangan, resiko lingkungan, resiko akan adanya potensi konflik horizontal, risiko konflik kepentingan, resiko korupsi dan lain-lainya.
“Ini bukan soal apakah Ormas Keagamaan (dan Ormas lain) tidak punya kapasitas dan tidak boleh memiliki amal usaha. Karena, dalam prakteknya banyak Ormas memiliki amal usaha dan berhasil dengan baik. Yang menjadi persoalan adalah pelanggaran atas UU MInerba dan mekanisme Penawaran secara Prioritas-nya. Kami justru khawatir Ormas keagamaan “terjebak” dengan aturan bermasalah ini” tekan Aryanto lagi.
Kekhawatiran lainnya, ini akan menjadi preseden bagi Pemerintah untuk bagi-bagi proyek kepada Ormas di sektor lain, seperti infrastruktur misalnya, meskipun melanggar aturan UU.
Problem “Akut dan Berulang” akhirnya membuat PWYP Indonesia juga menyoroti tidak transparan dan tidak partisipatifnya pembahasan revisi PP 96 tahun 2021 ini.
“Ini problem lama, berulang dan akut di masa Pemerintahan Presiden Jokowi” tambah Aryanto.
Terbitnya PP 25 Tahun 2024 bersamaan dengan terbitnya PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat yang juga mendapatkan banyak penolakan publik, seolah memang Pemerintah tidak pernah mau belajar dan memperbaiki proses penyusunan regulasi dan kebijakan di Indonesia.
Sehingga koalisi menilai hal ini dibutuhkan ke-legowo-an Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya untuk merespon kepentingan publik dengan berani mencabut kembali PP bermasalah.
Aryanto juga mendesak Komisi 7 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk menekan Presiden Jokowi membatalkan PP ini.
“DPR punya kewenangan, punya hak interpelasi dan hak angket. Jika memang itu bisa mengurai kekisruhan ini, mengapa tidak digunakan?” tanyanya.