POJOKNEGERI.COM - Keputusan pemerintah yang mengeluarkan izin pertambangan bagi organisasi masyarakat mendapat penolakan keras dari berbagai aktivis masyarakat sipil. 29 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Publish What You Pay (PWYP) bahkan dengan lantang meminta agar Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024.
Sebab peraturan yang berisi tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara itu memuat pasal terkait dengan pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan (Pasal 83A).
Selain itu diterangkan juga kalau dalam peraturan itu Pemerintah dapat memberikan perpanjangan bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap 10 tahun. Tertuang dalam Pasal 195B Ayat (2).
Menyikapi hal tersebut, Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut PP Nomor 25 Tahun 2024 karena pasal-pasalnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Pasal 83A PP Nomor 25 Tahun 2024 bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba dimana prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pasal 74 Ayat (1) UU Minerba juga menyebutkan bahwa Pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah.
“Tidak ada satupun pasal dalam UU Minerba, yang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian IUPK kepada Ormas. Ini jelas-jelas pelanggaran terhadap UU Minerba secara terang benderang!” tegas Aryanto dalam siaran pers Koalisi PWYP, yang diterima media ini, Selasa (4/6/2024).
Selain itu, Aryanto juga menerangkan pada Pasal 195B Ayat (2) PP Nomor 25 Tahun 2024 juga bertentangan dengan Pasal 169A UU Minerba dimana Kontrak karya (KK) dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak /Perjanjian setelah memenuhi persyaratan, dengan ketentuan:
- kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B
- kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B
“Perpanjangan kepada IUPK tidak boleh serampangan dan ugal-ugalan dengan memberikan selama ketersediaan cadangan, yang berarti bisa beroperasi sampai cadangan habis! Janganlah menggunakan jargon nasionalisme atas kepemilikan saham Indonesia di PT. Freeport Indonesia untuk melakukan pembenaran pelanggaran terhadap UU Minerba” tegas Aryanto.
Penawaran WIUPK eks PKP2B secara prioritas Badan Usaha Milik Ormas Keagamaan
Aryanto mengingatkan kepada Menteri pengusul Pasal 83A dalam PP Nomor 25 Tahun 2024 untuk belajar kembali tentang filosofi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, mulai dari Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sejarah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan; UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, hingga UU Minerba saat ini.