Sejak mulai menekuni usaha piring pelepah pinang pada November 2020, hingga April 2021 kedua desa ini sudah menjual sekitar 400 buah piring secara total. Harga satu buah piring berkisar antara Rp5.000 – Rp6.000.
Ayu menjelaskan, kalau piringnya dibentuk seperti styrofoam yang tertutup, artinya memerlukan dua buah piring pelepah yang kemudian ditangkupkan. Itu berarti harganya bisa menjadi dua kali lipat.
Harga ini masih terbilang murah, jika dibandingkan harga piring yang dipasarkan melalui toko online. Ayu pernah menemukan piring yang sama dijual seharga Rp16.000 di Bali.
Sejauh ini piring tersebut baru dipasarkan di sekitar Jambi, belum meluas ke daerah lain.
Robert Rudini, content creator yang juga konsultan traveling, menyarankan, agar bisa menjangkau konsumen di wilayah lain, ada baiknya dibuatkan konten di media sosial. Sebagai langkah awal, konten itu berisi cara menggunakan piring pelepah pinang.
“Orang belum bisa membayangkan, bagaimana jika piring ini diberi kuah atau saus, apakah akan bocor atau tidak. Dengan konten yang tepat, buyer yang tertarik bisa melihat referensi konten. Setelah membuat konten, kita bisa bergerak aktif mencari buyer yang memakai produk sejenis,” kata Rudi, yang melihat bahwa demand terbesar adalah Jawa dan Bali.
4. Corak cantik yang menarik
Piring yang dipasarkan kini tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Ada yang persegi panjang, ada juga yang bundar dalam diameter berbeda-beda.
Dari segi warna, piring tersebut terbagi menjadi 3 grade, yaitu A, B, dan C. Grade A adalah piring nyaris tanpa corak atau polos, grade B adalah piring setengah bermotif, dan grade C adalah piring dengan banyak motif.
“Secara kualitas tidak ada perbedaan sama sekali di antara 3 grade tersebut. Warna dan coraknya benar-benar tergantung pada pelepah pinang yang kita dapatkan. Rata-rata konsumen menyukai piring yang bermotif seperti serat kayu alami. Harga piring yang bermotif dikenai harga sedikit lebih mahal, karena tampilannya lebih bagus. Tapi, selisihnya hanya Rp500, kok,” kata Ayu, menjelaskan.
Elly Husin, traveler dan jurnalis yang menyukai produk-produk lokal, beberapa kali menggunakan piring tersebut ketika menghadiri sebuah acara seminar di hotel.
“Piring ini jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan plastik atau styrofoam. Aku suka sekali dengan warnanya yang cantik. Corak piring yang tidak seragam, ada yang sedikit hitam kecokelatan, sangat menarik. Sempat terpikir untuk membawa pulang,” katanya, sambil tertawa.
5. Solusi ekonomi dan lingkungan
Dalam mengerjakan piring pelepah pinang ini, setiap desa memiliki rumah produksi. Lima belas orang dari tiap desa memproduksi piring secara swadaya.
Tugas mereka terbagi-bagi, Seperti perusahaan kecil, ada yang bekerja di bagian produksi untuk mencetak pelepah, dan ada yang bertanggung jawab di bagian pemasaran.
“Inovasi piring pelepah pinang ini telah meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya di tengah berbagai pembatasan terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Di samping itu, kedua desa ini mendapatkan ancaman konversi lahan. Ada wacana bahwa komoditas pinang yang ramah gambut ini akan dialihkan menjadi komoditas tidak ramah gambut, seperti sawit. Jika telah mendapatkan penghasilan tambahan dari piring pelepah, para petani bisa tetap menanam pohon pinang dan tetap menjaga kelestarian ekosistem gambut, khususnya di wilayah Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh,” kata Asrul Aziz Sigalingging, Koordinator Project KKI Warsi.
Ia melanjutkan, dengan membeli piring pelepah pinang, konsumen bisa membantu dari sisi ekonomi dan ekologi. Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, konsumen akan berkontribusi secara langsung terhadap penyelamatan lingkungan.
Piring hasil produksi kedua desa itu pun sudah diberi merek sesuai nama KUPS mereka.
Jika membeli produk mereka, konsumen akan mendapatkan kartu cantik berisi ucapan terima kasih, karena secara langsung telah mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, sekaligus menyelamatkan ekosistem lahan gambut.
(redaksi)