"Seperti pasal 165 (UU Minerba yang dihapus) yang mana isinya mengatur dan menindak perbuataan yang melanggar (menyalanggunakan) kewenangan (pejabat dalam pemberian izin pertambangan)," tambahnya.
Banyaknya regulasi pertambangan yang diambil alih pemerintah pusat menurut AH sangat menyulitkan daerah. Terlebih soal penindakan dan sanksi bagi para pelaku ilegal minning.
Faktor hukum yang mengedepankan asas ultimum remidium dinilai AH kurang tepat sasaran.
Sebab asas ultimum remidium mengedepankan sanksi administrasi, yang mana bagi pelaku tambang ilegal tinggal melakukan penutupan void galian maka otomatis terbebas dari jerat pidana.
"Seharusnya hukum yang ada itu mengedepankan asas premium remidium yang mengedepankan tindak pidana. Karena pertambangan ini tentu berdampak sangat panjang dan menyengsarakan rakyat, oleh karena itu harus mengedepankan (asas) premium remedium," tegasnya.
Selain itu, AH pasalnya juga menyampaikan agar Kementerian ESDM harus menambah para inspektur pertambangan.
"Penambahan inspektur tambang itu penting, tapi yang tidak kalah penting adalah keseriusan semua pihak meminimalisir dan bekerja sama menekan laju illegal mining," harapnya.
Menanggapi beberapa pernyataan AH, termasuk tindakan dan langkah kongkret Pemkot Samarinda menutup dua konsesi yang diduga ilegal di Kota Tepian, Haris Retno akademisi Fakultas Hukum, Unmul memberikan apresiasinya. Namun menyebut penutupan dua konsesi belumlah cukup.
"Karena menurut data dari LSM Jatam, sediktinya ada 20 konsesi pertambangan di Samarinda yang membutuhkan langkah serius pemerintah daerah," tegasnya.