Di pihak akademisi, Peneliti Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Imaninar mengatakan cukai merupakan penyumbang terbesar ketiga terhadap penerimaan pajak negara.
Kontribusi terbesar penerimaan cukai berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan rata-rata kontribusi sebesar 11 persen terhadap total penerimaan nasional.
Bahkan, pada tahun 2020 meskipun laju pertumbuhan industri pengolahan tembakau mengalami keterpurukan, namun kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mencapai 13 persen.
“Kenaikan kontribusi cukai tersebut tak lain akibat menurunnya penerimaan negara yang berasal dari pajak. Hal ini menunjukkan bahwa cukai – yang didominasi oleh CHT – menjadi penyelamat ekonomi nasional di masa pandemi,” ujar Imaninar.
Imaninar turut menyikapi rencana simplifikasi pada struktur CHT yang juga didorong sebagai langkah mengoptimalkan penerimaan negara dari CHT.
Ia mengatakan, baiknya simplifikasi CHT tidak terburu-buru dilakukan.
Imaninar menjelaskan, saat ini produk industri hasil tembakau (IHT) telah cukup berat dibebani oleh berbagai pajak yang harus ditanggungnya.
Pemerintah hendaknya tidak menekan IHT dengan terus menaikkan tarif cukai.
Ia juga sepakat bahwa konsekuensi dari kenaikan cukai yang eksesif setiap tahun tidak hanya berdampak negatif pada keberlangsungan IHT, tetapi juga memicu maraknya peredaran rokok ilegal. Hal itu justru menjadi bumerang bagi penerimaan pemerintah.
Imaninar berpendapat, agar IHT tidak terus menerus menjadi andalan pendapatan negara dari cukai pemerintah perlu mempertimbangkan aspek lain, misalnya meningkatkan tax base atau barang barang lain yang kena cukai.
(redaksi)