Skenario operasi “kambing hitam” ini berlangsung hingga kini. Mungkin dalam kancah pilpres mendatang, masih digunakan. Contohnya, ketika Ketua KPK Firli Bahuri diframing akan menjegal Anies dalam pencapresan, meski pihak KPK sudah mengklarifikasi bahwa tuduhan tersebut tidaklah benar.
Kelompok yang dulu mati-matian membela KPK yang sekarang ada di belakang Anies, kini justru berbalik menyerang KPK. Dalam logika skenario operasi bendera palsu ini, justru isu KPK ingin menyerang Anies ini bisa saja dibangun oleh timnya sendiri. Tinggal nanti diujung Anies mengeluarkan pernyataan.
Sangat jelas sekali, sampai jika kita jeli kita sudah tahu mana media mainstream yang telah bekerjasama dengan Anies, kendati masih ada sih beberapa media yang menerapkan “pagar api,” dalam etika jurnalistik.
Media mainstream tersebut cukup bermain lewat judul berita yang menggiring opini publik seakan-akan Anies tidak ada salahnya, Anies terzolimi dan lainnya, targetnya tak lain adalah mengorek sentimen publik terhadap Anies, maksudnya harapannya publik bersimpati dengan Anies karena sudah tersetting “terzalimi.”
Isu besar yang berseteru saat ini adalah “Oligarki Vs Bapak Politik Identitas.”
Tentang isu oligarki
Isu yang kedua adalah bagaimana isu oligarki dimainkan begitu pas, bahwa dibelakang Presiden Jokowi adalah oligarki. Padahal dengan sistem kepemiluan yang sekarang, one man one vote, malah melanggengkan oligarki. Sebab, calon-calon dalam kontestasi pemilu harus meminta dukungan modal dari kalangan pengusaha, sudah pasti harus ada imbal balik.