Berdampak pada krisis iklim
Dewi menjelaskan, emisi karbon yang sangat besar dari industri fashion terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fashion dan siklus produk. Tetapi, 70% emisi karbon berasal dari kegiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah. Tak hanya itu, dampak fashion terhadap krisis iklim antara lain juga terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.
“Salah satu sumber terbesar mikroplastik adalah serat tekstil. Saat ini 63% pakaian terbuat dari kain sintetis atau campuran. Hasil pencucian pakaian dari bahan sintetis dalam setiap beban pencucian akan menghasilkan lebih dari tujuh ratus ribu serat mikroplastik, yang akan langsung mengalir ke pembuangan air dan bermuara di laut,” kata Dewi.
Di sisi lain, industri fashion juga menyerap begitu banyak sumber daya air. Sebagai gambaran, produksi satu potong jeans membutuhkan 7.500 liter air. Ini setara dengan rata-rata jumlah air minum yang kita konsumsi selama tujuh tahun.
Sementara itu, produksi sehelai kaus katun memerlukan 700 galon air, yang setara dengan kebutuhan air minum seseorang per hari (8 gelas) selama 3,5 tahun. Tidak aneh jika industri fashion menjadi consumer terbesar kedua dalam penggunaan suplai air dunia.
Fast fashion punya andil besar
Dari tahun ke tahun konsumsi produk pakaian terus meningkat. Salah satu penyebabnya adalah budaya fast fashion yang memproduksi berbagai model dalam waktu sangat singkat, serta menggunakan bahan baku yang buruk dan murah.
“Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut,” kata Dewi.
Dahulu rata-rata brand merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin. Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada brand global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, ada yang mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi.
Karena memahami ancaman di balik fast fashion, Dinda selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting, tak pernah ketinggalan zaman. Misalnya, blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa pun.
Perilaku konsumen ikut berperan
Dinda mengakui, dulu dia bisa belanja baju baru setiap hari. Meskipun, pada akhirnya baju itu hanya terpakai satu-dua kali saja, lalu tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi.
Hingga suatu ketika, ia merasa kamarnya terasa begitu sesak oleh dua lemari besar yang penuh sekali berisi baju, dan baju barunya tidak cukup lagi disimpan dalam lemari tersebut.
“Ketika itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju. Belum tentu setiap satu-dua bulan saya beli baju,” kata Dinda, yang mengajukan diri untuk jadi duta kampanye #GenerasiNolEmisi di media sosial.
Dinda mengamati, dari lingkungan teman-temannya saja, kebiasaan belanja baju luar biasa tinggi. Misalnya, temannya sengaja beli baju baru demi acara makan malam.
Padahal, koleksi bajunya sudah sangat banyak dan ia hanya akan memakainya satu kali itu saja. Karena itu, Dinda menyarankan untuk pakai baju yang sudah dimiliki.