POJOKNEGERI.COM - Dunia fashion yang terkesan gemerlap rupanya memiliki sisi lain yang jarang terlihat.
UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019 mengungkap, fashion adalah industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan.
Sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi krisis iklim dihasilkan dari industri fashion.
Bahkan, jumlah emisi karbon dari industri fashion lebih besar daripada total emisi yang dihasilkan dari gabungan industri jasa pengiriman dan penerbangan. Ini berarti industri fashion berperan besar dalam mendorong terjadinya perubahan iklim.
Masalahnya, di masa mendatang generasi muda akan menjadi yang paling terdampak oleh perubahan iklim tersebut.
Maka, sejak sekarang mereka perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya beraksi dan berkolaborasi dalam memperlambat perubahan iklim.
Karena itu, dengan tujuan untuk melibatkan mereka dalam aksi memperlambat perubahan iklim melalui tindakan nyata yang sederhana, pada 2020 The Partnership for Governance Reform atau yang biasa disebut KEMITRAAN menggagas gerakan Generasi Nol Emisi.
“Kecenderungan generasi muda mengonsumsi fast fashion kemudian mendorong Generasi Nol Emisi meluncurkan kampanye #MakinBelelMakinNyaman melalui media sosial pada awal 2022. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya limbah fashion dengan tetap merawat pakaian-pakaian lama,".
"Dalam kampanye tersebut generasi muda diminta menunjukkan koleksi pakaian lama mereka dan berbagi cerita tentang usaha mereka mengurangi belanja fashion untuk menjaga bumi,” kata Dewi Rizki, Program Director for Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN.
Anda juga tertarik untuk diet baju dan produk fashion lain? Ketahui dulu 5 fakta penting tentang limbah fashion ini.
Berbagai rupa limbah fashion
Dinda Ayudita, Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022, bercerita, ia pernah melihat sampah yang menggunung.
“Tapi, sampah tersebut tak menyebarkan aroma tak sedap. Ketika saya mendekat, sampah itu ternyata terdiri dari begitu banyak baju.” katanya.
Dewi menyebutkan, limbah fashion terdiri dari berbagai bentuk, di antaranya limbah cairan. Dua puluh persen limbah cairan di dunia berasal dari industri fashion. Pewarnaan tekstil menjadi polutan air terbesar kedua di dunia, karena sisa air dari proses pewarnaan sering kali dibuang ke selokan dan sungai.
Padahal, limbah ini mengandung zat-zat sisa pewarna kimia sintetis yang berbahaya bagi lingkungan.
Limbah fashion juga bisa berupa sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil dan besar, serta pakaian tak terpakai yang kita buang, seperti yang dilihat oleh Dinda. Masalahnya, sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami. Contohnya, polyester dan nilon, yang membutuhkan waktu antara 20 - 200 tahun hingga bisa terurai. Meski begitu, ada juga pakaian dari bahan kain bisa terurai secara alami, misalnya katun, terutama yang 100 persen. Katun bisa terurai dalam hitungan minggu hingga 5 bulan, sedangkan bahan linen bisa terurai dalam dua minggu.