Fahri menambahkan, kriteria yang harus dipakai sebagai patokan penentuan cawapres adalah kebutuhan negara saat ini, yakni figur yang dapat memainkan peran-peran konstruktif dalam menata negara, agar konsolidasi demokrasi tetap berada pada rel yang benar.
"Bukan kebutuhan elektoral atau elektoralisme semata yang hanya berorientasi pada kepentingan menang-kalah dalam pemilu," ucap Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, dikutip dari CNN.
Menurut Fahri, tugas konstitusional negara akan semakin kompleks, lebih berat dan menantang.
Dia menilai, prinsip meritokrasi menjadi keniscayaan dalam memilih sosok cawapres yang teknokratis, intelektual, serta menguasai aspek ketatanegaraan dan kepemerintahan.
Secara konvensional, praktik pengisian jabatan wapres menggunakan konsep meritokrasi pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, yakni melalui kehadiran dwitunggal Soekarno-Hatta, di mana Soekarno berperan sebagai 'solidarity maker' di awal kemerdekaan dan Hatta sebagai administrator negara.
Sementara secara konstitusional, UUD 1945 melalui Pasal 6A ayat 1 menyatakan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden adalah satu kesatuan pasangan presiden dan wakil presiden.
Artinya, di satu sisi presiden dan wakilnya merupakan satu kesatuan kelembagaan.