POJOKNEGERI.COM - Tentu kalian masih ingat ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyinggug Jakarta akan tenggelam, yang menjadi pertanda bahwa isu perubahan iklim akan kembali dimainkan lagi oleh negara-negara Eropa. Biden ketika itu menyebutkan bahwa perubahan iklim tersebut adalah “ancaman yang lebih menyeramkan” dibandingkan COVID-19.
Pasca-pernyataan Biden itu, spontan seluruh media mainstream langsung memberitakan mengenai climate change-perubahan iklim.
Di Indonesia bahkan ada beberapa pejabat yang mulai menyuarakan apa yang disampaikan Biden. Seperti gayung bersambut. Dan pernyataan-peryataan tokoh-tokoh nasional ini banyak dimuat media mainstream yang sahamnya juga dimiliki jaringan media internasional yang berada di kawasan Eropa.
Bahkan sekelas Bill Gates yang dulu getol bicara tentang ancaman virus, setelah COVID-19 berhasil, kini dia ikutan juga bicara tentang ancaman perubahan iklim. Di Indonesia beberapa tokoh yang terdeteksi pernah menyuarakan hal yang sama adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan mantan Wapres Jusuf Kalla. Lantas apa solusi yang ditawarkan oleh mereka yang menyuarakan isu ini, ujung-ujungnya duit-duit dan duit lagi. Bahkan terakhir, seorang pejabat dari Uni Eropa menegaskan bahwa Indonesia memiliki peran yang sangat penting terkait perubahan iklim ini.
Menkeu Sri Mulyani sendiri sudah sesumbar, bahwa untuk mengatasi perubahan iklim ini, setidaknya Indonesia kudu menyiapkan uang hingga Rp3.700 triliun hingga 2030. Menkeu menegaskan, bahwa salah satu langkahnya adalah memitigasi dampak dari perubahan iklim dengan mengurangi penggunaan karbon emisi dengan penerapan pajak karbon.
Lantas apa itu pajak karbon? Adalah pajak yang akan dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan banyak karbondioksida (CO2) dalam kegiatan produksinya. Penerapan pajak ini dengan dalih menjaga kelestarian bumi. Inilah anehnya, jika dipikir-pikir Indonesia dikerjain dua kali. Pertama, banyak perusahaan industri yang beroperasi di Indonesia, ada keterlibatan sejumlah perusahaan multinasional di dalamnya. Mereka yang merusak lingkungan, tetapi kita yang disuruh bayar pajak karbonnya.
Sementara kita, masyarakat biasa diminta untuk menghemat energi. Lah, masyarakat dalam kesehariannya sudah sangat hemat energi. Semisal, ketika kita ingin istirahat tidur, masyarakat punya peran mematikan lampu. Belum lagi kalau beli-beli alat elektronik, masyarakat Indonesia pasti sudah melihat kapasitas daya dari perabotan/peralatan rumah.