Atas pernyataan Bambang Wuryanto dikaitkan dengan kondisi saat ini, ada sejumlah hal penting untuk dikritisi.
Pertama, agenda pemberantasan korupsi memang kerap dikesampingkan. Bukan kali pertama, sebelumnya Bambang Wuryanto juga pernah menyatakan keinginannya untuk membahas RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi III, tanpa tedeng aling-aling Bambang menyebutkan bahwa RUU tersebut sulit mendapatkan dukungan karena berpotensi menghalangi upaya politisi untuk mendulang suara dalam proses pemilihan umum (pemilu).
Kedua, pernyataan Bambang Wuryanto menegasikan partisipasi publik dan menempatkan kedaulatan rakyat di bawah kedaulatan elit partai. Padahal, secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan berdasarkan kedaulatan partai politik.
Pembentukan sejumlah regulasi bermasalah beberapa waktu terakhir setidaknya memperlihatkan pola yang sama, yaitu pembahasan hingga pengesahannya dilakukan secara cepat dan tertutup. Sebagai Wakil Rakyat, seharusnya DPR memiliki keberpihakan kepada publik sebagai konstituennya tidak lagi berada di bayang-bayang elit politik partai pengusungnya. Pertanyaan lebih lanjutnya, apakah pembahasan produk hukum kontroversial itu memang sejalan dengan mandat para petinggi partai politik?
Jika memang demikian, menjadi wajar jika publik menilai setiap keputusan DPR pada akhirnya merupakan keputusan segelintir elit partai, bukan didasarkan pada kapasitasnya sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu. Ke depan, realita berpolitik yang diperlihatkan oleh legislatif ini dapat digunakan oleh masyarakat sebagai pertimbangan dalam menggunakan hak suaranya pada kontestasi Pemilu 2024 nanti.
Atas dasar tersebut, kami mendesak Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi pun keluarkan sikap.