Melihatnya selalui pendekatan hukum formil, sementara menafikkan hukum adat yang juga diakui.
Di sisi lain, masyarakat adat tidak melihatnya sebatas uang. Justru keberlanjutan – keberlangsungan kemerdekaan hidup dan mengelola kegiatan ekonomi dengan caranya sendiri. Mengurusi satwa dilindungi saja, kita harus sampai dengan memikirkan habitatnya, ekosistemnya, apalah, sementara ini urusannya dengan manusia.
Sebelum menutup tulisan ini, coba kita lihat jika ada kawasan perumahan elite, sudah barang tentu hampir semua nama-nama kawasan perumahan terpadu ataupun cluster-cluster tidak menggunakan nama-nama kampung yang lokasinya digunakan.
Sehingga garis keturunan ke bawah, tidak tahu nama kampung-kampung yang pendekatannya kultur dan budaya wilayah tempat.
Ini salah satu contoh bagaimana atas nama investasi mampu mencerabut akar-akar budaya daerah setempat, dan lagi-lagi pemerintah hanya diam. Semoga kita semua yang waras terus berikhtiar menjaga akar-akar kebudayaan kita, Nusantara.
Sekali lagi, kapitalisme akan selalu membenturkan kita dengan keadaan. Ujung-ujungnya selalu melawan oligarki, akibat naluri “binatang” manusia. Sementara mereka yang ada dalam kekuasaan, akan selalu merasa “awet muda.”
Sumber: https://sonnymajidblog.wordpress.com/2023/09/14/pulau-rempang-kegaduhan-geopolitik/