DaerahSamarinda

Pemkot Samarinda Siapkan Perda Penanggulangan TBC dan HIV/AIDS

POJOKNEGERI.COM – Pemerintah Kota Samarinda melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) terus memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, khususnya tuberkulosis (TBC) dan HIV/AIDS.

Salah satu langkah konkret yang kini tengah digodok adalah pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanggulangan Penyakit TBC dan HIV/AIDS, yang diinisiasi oleh Panitia Khusus (Pansus) 4 DPRD Samarinda.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PA) Dinkes Samarinda, Nata Siswanto, menjelaskan bahwa pertemuan antara Dinkes dan DPRD baru-baru ini merupakan bagian dari proses dengar pendapat untuk merumuskan naskah Raperda.

“Pertemuan ini kami lakukan untuk memberikan masukan kepada DPRD dalam rangka pembentukan peraturan daerah tentang penanggulangan TBC dan HIV/AIDS di Samarinda,” ujarnya.

Menurutnya, TBC saat ini menjadi salah satu prioritas nasional, seiring dengan posisi Indonesia yang menempati urutan kedua terbanyak kasus TBC di dunia setelah India.

Kondisi tersebut juga tercermin di Samarinda, yang mencatat cukup banyak kasus akibat deteksi dini yang semakin masif.

“Semakin banyak kita melakukan deteksi, tentu semakin banyak pula kasus yang ditemukan. Tapi itu justru hal baik, karena dengan mengetahui siapa yang sakit, kita bisa melakukan pengobatan sampai tuntas,” jelasnya.

TBC dikenal sebagai penyakit yang membutuhkan pengobatan jangka panjang, minimal enam bulan.

Menurut Nata, durasi tersebut kerap menimbulkan kejenuhan bagi pasien, sehingga banyak di antaranya berhenti sebelum tuntas.

“Angka kejenuhan penderita TBC cukup tinggi. Banyak pasien yang berhenti minum obat di tengah jalan. Padahal, TBC bisa sembuh seratus persen asalkan pengobatan dilakukan secara teratur dan sampai selesai,” tegasnya.

Ia menambahkan, pengobatan TBC di Samarinda diberikan secara gratis karena seluruh obat sudah disediakan oleh pemerintah.

Namun tantangan lain muncul dari lingkungan pasien, terutama kontak erat di rumah yang berisiko tinggi tertular.

“Penularan bisa terjadi di rumah, di antara keluarga. Karena itu, kita juga memberikan terapi pencegahan TBC atau TPT bagi kontak erat, bukan obat untuk pasien positif, tapi pencegahan agar tidak tertular,” jelasnya.

Dinkes Samarinda tidak bekerja sendiri. Upaya penanggulangan TBC dan HIV/AIDS dilakukan melalui kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim).

Salah satu bentuk kolaborasi adalah program perbaikan rumah bagi penderita TBC yang kondisi ventilasinya tidak memadai.

“Rumah penderita TBC perlu sirkulasi udara yang baik. Karena itu, kami berkoordinasi dengan Dinas Perkim untuk program bedah rumah atau perbaikan ventilasi bagi rumah yang tidak memenuhi standar,” terangnya.

Di sisi pelayanan, seluruh puskesmas di Samarinda kini aktif melakukan deteksi dini.

Tak hanya itu, beberapa klinik swasta juga telah diajak bekerjasama untuk memperluas jangkauan pemeriksaan.

“Puskesmas sudah pasti terlibat karena berada di bawah Dinkes. Tapi kami juga menggandeng klinik swasta agar masyarakat lebih mudah melakukan deteksi,” katanya.

Selain upaya dari pemerintah, ia menekankan pentingnya kesadaran masyarakat untuk mengenali gejala dan melakukan pemeriksaan sejak dini.

Salah satu cara yang kini tersedia adalah melalui CKG nasional, program yang memfasilitasi pemeriksaan kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

“Deteksi dini bisa dilakukan lewat puskesmas, rumah sakit, atau program CKG nasional. Tapi yang paling penting, masyarakat harus peduli pada kesehatannya sendiri, terutama jika ada riwayat penyakit gula atau kebiasaan merokok, atau tinggal serumah dengan penderita TBC,” imbaunya.

Selain TBC, Samarinda juga menghadapi tantangan serius dari meningkatnya kasus HIV/AIDS.

Dinkes mencatat adanya lonjakan kasus yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku berisiko tinggi.

“Penyebab HIV bukan hanya hubungan seksual bebas tapi juga penggunaan jarum suntik di kalangan penyalahguna narkoba, dan hubungan sesama jenis atau LSL yang justru paling tinggi dari data yang kami temukan,” ungkapnya.

Untuk menekan penyebarannya, Dinkes terus menggencarkan edukasi dan promosi kesehatan.

Namun, Nata menegaskan bahwa perubahan perilaku tetap menjadi kunci utama.

“Kami bisa mendeteksi dan mengobati tapi perilaku ada di tangan individu. Karena itu kami bekerjasama dengan OPD lain termasuk Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Pariwisata, terutama di area yang berpotensi tinggi seperti tempat hiburan malam,” paparnya.

Dengan dibentuknya Perda Penanggulangan TBC dan HIV/AIDS nanti, Dinkes Samarinda berharap akan ada dasar hukum yang kuat untuk memperkuat koordinasi lintas sektor dan memastikan pasien mendapat penanganan maksimal.

“Kita butuh payung hukum agar program penanggulangan ini bisa berjalan maksimal. Dengan Perda, penanganan bisa lebih komprehensif dan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia menegaskan, TBC dan HIV bukan sekadar masalah kesehatan, melainkan isu sosial yang perlu penanganan bersama antara pemerintah dan masyarakat.

“Kalau kita tahu siapa yang sakit, kita bisa obati tapi kalau kita tidak tahu, penyakit itu bisa menyebar tanpa kendali. Jadi kuncinya ada pada deteksi dini dan kesadaran untuk berobat sampai tuntas,” tutupnya. (*)

Tampilkan Lebih Banyak

Artikel Terkait

Back to top button