POJOKNEGERI.COM - Setelah melalui goncangan ekonomi pasca-COVID19, brand dan para pengiklan masih harus menghadapi tantangan besar lainnya, resesi global.
Dengan 60% ekonom dunia memprediksikan resesi di Eropa, tingkat pertumbuhan global diperkirakan hanya akan mencapai 2,9% -- turun dari perkiraan awal 4,6% di awal 2022. Hal ini menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi tampaknya tidak bisa dihindari
Perubahan pola konsumen juga terlihat dari bagaimana mereka menyesuaikan pengeluaran untuk beradaptasi dengan inflasi dan suku bunga yang tinggi, dimana brand dan pengiklan pun turut mengikuti perilaku ini.
Berdasarkan data Nielsen Ad Intel, pasar periklanan di AS menurun sebesar 7% pada kuartal kedua 2022 dibandingkan waktu yang sama tahun lalu.
Penurunan ini menandakan banyak pemasar yang telah atau berencana untuk memotong anggaran belanja iklan mereka.
Meskipun penekanan pada anggaran belanja media terlihat seperti strategi yang masuk akal dalam jangka pendek, pemasar seharusnya lebih berfokus pada mitigasi dampak resesi dan memaksimalkan efektivitas anggaran marketing dengan untuk memasuki masa pemulihan.
“Pandangan Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan angka pertumbuhan yang melambat di seluruh wilayah yang juga diikuti melemahnya mata uang sehingga turut memperburuk perlambatan itu. Secara khusus Wilayah Asia-Pasifik yang saling berhubungan dengan China dan AS, dimana pendekatan bisnis menjadi jauh lebih sensitif dibandingkan beberapa tahun terakhir," kata Abhinav Maheshwari, Vice President, Marketing Effectiveness, APAC Nielsen.
"Dalam situasi seperti ini, umumnya pengeluaran anggaran pemasaran akan lebih diperketat, karena brand lebih hati-hati dalam melakukan investasi dari sisi taktik dan kampanye pemasaran kedepannya. Akan tetapi, angka yang ada menunjukkan data yang berbeda. Dalam resesi, ketika brand berhati-hati dalam alokasi budget, mengandalkan pemasaran yang lebih besar terbukti memiliki dampak langsung dan positif pada penjualan brand, bahkan dalam kondisi ekonomi yang menantang,” tambah Abhinav.
Resesi tidak berlangsung selamanya
Meskipun resesi terlihat menyeramkan, namun secara historis, resesi tidak akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Umumnya, 75% resesi akan berakhir dalam setahun dan 30% resesi akan berlangsung dua kuartal.
Jadi, setiap pemotongan pengeluaran kemungkinan hanya akan bersifat jangka pendek dan menghasilkan penghematan nominal, sambil menempatkan brand pada posisi yang kurang menguntungkan menuju periode pemulihan yang kemungkinan akan segera terjadi.
Mengingat sebagian besar brand telah mengurangi belanja, hal ini menekan ROI brand hingga 50% dan setiap pemotongan anggaran dapat mengurangi ROI lebih jauh, padahal, disaat seperti ini brand justru perlu memaksimalkan keuntungan lebih banyak.
Pemotongan anggaran nyatanya bukan solusi. Brand perlu mengoptimalkan berbagai strategi media dan berinvestasi pada saluran-saluran yang telah terbukti memiliki kinerja yang baik. Dengan menyeimbangkan strategi dengan baik, maka brand dapat mengalokasikan anggaran untuk mencapai audiens yang tepat, efisiensi, dan frekuensi. Misalnya, sebuah brand produsen mobil baru-baru ini meningkatkan jangkauannya sebesar 26% dan jumlah tayang lebih dari 39% hanya dengan mengoptimalkan alokasi medianya tanpa menyesuaikan anggarannya.
Dan berinvestasi di media selama resesi sebenarnya dapat menghemat uang brand, karena kemunduran industri menciptakan dinamika penawaran dan permintaan yang menguntungkan pembeli iklan dan menurunkan biaya media. Bahkan, beberapa merek justru meningkatkan investasi media mereka dalam resesi. Selain lingkungan biaya media yang menguntungkan, brand juga dapat menemukan pesaing telah mengurangi iklan, yang menciptakan peluang bagi kampanye untuk memiliki dampak yang lebih besar.
Pertumbuhan itu mungkin, bahkan dalam resesi ekonomi