Sementara faktanya, disampaikan Castro, rata-rata perusahaan tambang di Kaltim, urung melakukan kewajiban reklamasi ini, bahkan hingga berpuluh tahun. Ini juga yang berkontribusi besar terhadap 40 korban yang kehilangan nyawa di lubang tambang.
"Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi aparat kepolisian untuk tidak melakukan proses hukum terhadap perusahaan yang abai dengan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Bukan hanya terhadap perusahaan yang wilayah konsesinya memakan korban nyawa manusia, tapi proses hukum ini juga harus dilakukan terhadap seluruh perusahaan pertambangan batubara yang abai atau tidak melakukan reklamasi dan pascatambang," ujarnya.
"Pun demikian dengan pemerintah daerah yang juga punya tanggung jawab untuk memastikan proses hukum ini berjalan. Apalagi Gubernur dalam kapasitas wakil pemerintah pusat di daerah, juga diberikan tugas untuk memastikan nyawa dan keselamatan warganya, termasuk atas pelanggaran reklamasi yang memakan korban ini. Ini yang tidak didipahami dan dijalankan dengan baik. Jangan menutup mata dan telinga terhadap kejahatan serius ini," lanjut Castro.
Ia sebut bahwa daerah bahkan punya insrumen hukum yang progresif sejak 2013 melalui Perda 8/2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang.
Namun sayangnya, dua rezim pemerintah daerah, baik dimasa Awang Faroek Ishak maupun dimasa Isran Noor, substansi Perda tersebut gagal dijalankan sesuai dengan kepentingan dan harapan warga, khususnya bagi para keluarga korban.
Dampaknya, kejahatan dalam bentuk ketidakpatuhan reklamasi dan pascatambang ini semakin meluas, dan terus menerus memakan korban.
"Jika aparat kepolisian, termasuk pemerintah, tidak serius dan memiliki komitmen kuat menyelesaikan persoalan ini, maka niscaya korban akan terus berjatuhan," katanya.
Diberitakan sebelumnya, korban tenggelam di kolam tambang yang berlokasi di Makroman, akhirnya ditemukan.