Berlanjut, Castro justru beranggapan bahwa hal; itu kontra produktif.
Ia meminta untuk melihat lagi pada PUTUSAN MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 terkait dengan permphonan yang diajukan pihak Edi Damansyah ke MK.
Dijelaskan Castro bahwa pada halaman 49 dan 50 putusan MK itu, telah dijelaskan jelas bahwa tak ada perbedaan antara menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.
"Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon," demikian redaksi dalam putusan MK bernomor 2/PUU-XXI/2023.
Redaksi di putusan MK itulah yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Castro.
"Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK di halaman 50 itu jelas menyebut jika yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan "masa jabatan yang telah dijalani" tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon," ujarnya.
"Jadi baik status plt maupun definitif Edi, dihitung sebagai satu tarikan nafas masa jabatan. Dengan demikian, berdasarkan putusan MK itu, Edi seharusnya dihitung sudah 2 periode. Edi mestinya legowo saja agar regenerasi juga berjalan di Kukar. Jauh lebih baik Edi fokus menyelesaikan sisa masa jabatannya untuk kepentingan rakyat Kukar, dibanding terus berpolemik. Justru jadinya kontra produktif," ujarnya lagi.
Sebelumnya, pihak dari Kuasa Hukum Pemohon menilai bahwa Edi Damansyah tetap dapat mendaftar sebagai calon Bupati Kukar periode 2024 sd 2029 dengan dasar argumentasi sebagai berikut:
1) Bahwa yang dilakukan pembatasan sebagai hitungan 1 periode dalam makna 2 ½ tahun atau lebih hanyalah pejabat definitif dan PENJABAT SEMENTARA. Nomenklatur penjabat sementara dengan pejabat sementara adalah dua hal yang berbeda, kalau PEJABAT sementara dalam teori merupakan genus pejabat yang terdiri atas Plt, Plh, Penjabat, dan Penjabat Sementara. Sedangkan PENJABAT sementara adalah orang yang mengisi jabatan kepala daerah karena kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif sedang menjalani masa cuti kampanye.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 Permendagri Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota:
“PENJABAT Sementara yang selanjutnya disingkat Pjs adalah pejabat tinggi madya/setingkat atau pejabat tinggi pratama yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tugas gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota karena gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali
kota dan wakil wali kota Cuti di Luar Tanggungan Negara untuk melaksanakan Kampanye gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.”