Dari dua ayat tersebut maka pemberian subsidi adalah salah satu bentuk balasan dari pemerintah kepada rakyatnya, yang telah menyetorkan pajak. Jadi tidak ada alasan seumpama ada pihak yang mengatakan “sebaiknya subsidi dihapus,” itu tidak bisa. Subsidi harus tetap ada, hanya peruntukkannya sebagai apa atau perubahan alokasinya untuk apa, transportasi, bantuan langsung tunai, kesehatan atau apa sektor lainnya. Karena ini menyangkut mengelola negara, bukan perusahaan.
Jadi kalau ada yang mengatakan subsidi dihapus secara murni, itu perspektif pengusaha namanya. Selalu bicara menekan modal sekecil mungkin, tapi meraih keuntungan maksimum. Dari sini saja sebenarnya kita sudah tahu, negara mengelolanya dari perspektif sebagai apa. Jangan-jangan pengolaan migas kita sudah diserahkan ke swasta?
Efek domino
Kenaikan harga BBM selalu menjadi rujukan kenaikan harga sektor produksi lainnya. Inilah oil effect, dan banyak pengamat ekonomi menjadikan harga BBM sebagai rujukan mengukur inflasi.
Meski ada juga sih yang mengukurnya dari harga penganan yang dibuat McDonald, sebagai perusahaan penganan cepat saji yang cabangnya ada di seluruh dunia. Mengukurnya cukup dengan membandingkan harga “Big Mac” di seluruh cabang McDonald.
Kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945, Ayat (4) menjelaskan: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Ayat ini berdasarkan amandemen.
Diksi “berdasarkan atas demokrasi ekonomi” inilah yang bagi saya masih mengerikan, sebab kalau sudah bicara demokrasi ekonomi, ya artinya pasar bebas, ikut mekanisme pasar yang merupakan prinsip dari kapitalisme, liberalisme, neo kapitalisme, neo liberalisme apapun itu.
Dengan demokrasi ekonomi, sudah pasti swasta diberikan kebebasan seluas-luasnya.
Jika keterlibatan swasta ini tidak dipagari atau diintervensi oleh pemerintah, maka jangan sampai demokrasi ekonomi itu menguatkan pengakuan atas kepemilikan perseorangan. Belum lagi diksi “efisiensi berkeadilan” lagi-lagi ini mekanisme pasar.