Dalam laporan tersebut, WTO menyatakan bahwa Uni Eropa memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbasis kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan produk serupa dari Uni Eropa, seperti grapeseed (minyak biji anggur) dan bunga matahari.
Selain itu, UE dinilai memberikan keuntungan lebih kepada produk impor seperti kedelai.
Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang diberlakukan UE dinilai diskriminatif karena mengategorikan kelapa sawit sebagai komoditas dengan risiko tinggi alih fungsi lahan (high ILUC-risk) tanpa kajian data yang memadai.
Prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam RED II juga mendapat sorotan dari WTO karena dinilai tidak transparan.
Dengan adanya putusan WTO ini maka UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan Delegated Regulation agar mematuhi aturan WTO.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah Indonesia berkomitmen memantau perubahan regulasi UE agar sesuai dengan putusan WTO.
Airlangga menegaskan bahwa jika Uni Eropa tetap menghalangi ekspor sawit, Indonesia akan menggunakan jalur diplomasi dengan melibatkan mitra strategis seperti Amerika Serikat.
Dalam penjelasannya, Airlangga juga menyebut kemenangan Indonesia di WTO menjadi bukti pengakuan internasional terhadap biodiesel berbasis minyak kelapa sawit (CPO).
“Kemarin kita menang di WTO untuk kelapa sawit. Ini membuktikan bahwa Uni Eropa melakukan diskriminasi terhadap Indonesia,” kata Airlangga Hartarto.