POJOKNEGERI.COM - Update terbaru perihal pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.
Pada 2 November lalu DPRD Kaltim telah menggelar paripurna. Salah satu pembahasan terkait persetujuan pergantian Ketua DPRD Kaltim, Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.
Selanjutnya, DPRD Kaltim melalui sekretariat dewan akan berkirim surat ke Gubernur Kaltim, selanjutnya diteruskan ke Menteri Dalam Negeri RI.
Dikonfirmasi terkait surat usulan dari DPRD Kaltim, Hadi Mulyadi, Wakil Gubernur Kaltim mengaku pihaknya belum menerima surat usulan tersebut.
"Pemprov Kaltim belum terima, karena di DPRD Kaltim sendiri saat ini belum satu kata, ada yang WO, ada yang menolak, ada yang masih pertanyakan prosesnya," kata Hadi, ditemui Senin (8/11/2021).
Meski begitu, Hadi Mulyadi menegaskan pihaknya tidak akan menindaklanjuti surat usulan pergantian ketua dewan ke Mendagri.
Hadi menyebut pihaknya masih akan menunggu keputusan inkrah di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda.
Diketahui kubu Makmur HAPK saat ini tengah melakukan gugatan perkara di Pengadilan Negeri Samarinda dengan nomor register perkara : 204/Pdt. G/2021/PN.Smr.
"Pemprov Kaltim harus nunggu inkrah, kaitannya dengan hukum harus inkrha. Pak Gubernur sudah sampaikan ke saya, tidak akan bersurat ke Mendagri kalau belum inkrah," tegasnya.
"Di sana (DPRD) belum klir jadi ya belum bisa diproses. Ada terima juga masyarakat yang menolak, saya intinya bagaimana Kaltim tetep kondusif," katanya.
Diberitakan sebelumnya, pandangan dari kalangan akademisi diberikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah atas proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.
Castro, biasa ia disapa anggap bahwa keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD itu, pertanda politik lebih dominan dibanding hukum.
"Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?," ujar Castro, Rabu (3/11/2021).
"Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik. Logikanya begini, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan oleh pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi," jelasnya lagi.
Dijelaskan Castro, contoh kongkritnya kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI.
Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear.
"Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya," kata Castro.
(redaksi)