Sempat sepi, isu saling serang antara Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun secara organisasi ya, bukan individu, meski serang-menyerang itu sasaran tembaknya lebih kepada sosok Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar, biasa disapa Cak Imin atawa Gus Muhaimin.
Mendekati pengumuman bakal capres – cawapres tontotan tersebut kembali mencuat, selain figur Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), serangkaian serangan tersebut juga mulai memanfaatkan putri mendiang Gus Dur, Yenny Wahid.
Ironisnya, isu ini selalu mencuat setiap hendak digelar Pemilu. Saya nafikkan dulu seteru pada “darah biru” di NU tersebut. Dalam tulisan ini saya lebih menyoroti dalam bahwa pemandangan tersebut lebih pada upaya kelompok-kelompok di luar NU yang melakukan infiltrasi melalui personal orang-orang, yang notabene adalah tokoh-tokoh inti NU.
Meski belakangan, banyak juga tokoh-tokoh inti NU lainnya, lebih memilih untuk membicarakan “sesuatu yang lebih besar.”
Dugaan agendanya bisa jadi, mendorong figur di luar NU (non NU), keinginan tokoh di luar Gus Muhaimin yang juga ingin jadi bacawapres, dan mendegradasi kekuatan NU itu sendiri jelang pesta politik 2024 mendatang. Mengingat NU selalu menjadi “gula” lantaran basis massanya yang menjadi potensi suara.
Keberagaman di internal NU – Nahdliyyin inilah yang menjadi “rujakan” kelompok di luar NU, yang diduga tak menginginkan NU mendapat kekuasaan. Sayangnya, masih ada sejumlah kalangan NU menanggapinya secara parsial tidak simultan. Alhasil yang keluar adalah cara pandang yang sempit, selalu vis a vis.
Padahal siapapun kyai di NU selalu mengajarkan kepada kita semua, bahwa warga NU tidak boleh alergi dengan politik.
Bagaimana mungkin bisa mewujudkan politik kebangsaan NU, jika kita sendiri tidak pernah mau berkolaborasi dengan gerakan politik, yang nantinya justru menghasilkan kebijakan politik kebangsaan.
Dalam konteks NU secara organisasi/kelembagaan menjadi gerakan penyeimbang atau mesin analisis, saya sepakat. Tapi bukan diwujudkan dengan vis a vis menyerang individu/personal. Akan lebih epik jika NU dan PKB secara kelembagaan bersinkronisasi dalam kepentingan yang lebih besar, yakni politik kebangsaan tadi.
Yang perlu diingat bahwa PKB didirikan oleh NU, sebagaimana keinginan para kyai sepuh menjadikan PKB sebagai saluran aspirasi politik warga NU. Apabila ada oknum tertentu yang mengatakan PKB bukan saluran aspirasi politik warga NU, maka itu ahistoris.