"Tidak ada perubahan, tetap akan dilakukan penertiban. Tidak ada juga bentuk tali asih karena yang bersangkutan sudah lama mendiami lahan tersebut. Jika nantinya akan melakukan gugatan dan upaya hukum, kami tentunya siap menghadapi dan mempersiapkan semua yang dibutuhkan untuk menjawab gugatan tersebut," katanya.
Diketahui, upaya mengambil alih aset lahan seluas 84 meter persegi yang dihuni warga bernama Madjiarti di seputar Jalan Tarmidi dan Danau Semayang, Kelurahan Sungai Pinang Luar, Kecamatan Samarinda Kota, menuai gejolak penolakan.
Bahkan upaya inventarisasi aset tersebut dikatakan masuk dalam upaya penggusuran paksa oleh pemerintah kepada Madjiarti yang menghuni lahan tersebut.
"Jadi agenda hari ini kami mengajukan keberatan terhadap perintah pembongkaran bangunan dari Pemkot Samarinda, dan menurut kami itu adalah penggusuran paksa," ucap Kuasa Hukum Madjiarti, Mangara Tua Silaban dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda saat dijumpai, Kamis (17/2/2022).
Lanjut dijelaskan Mangara Tua Silaban, bentuk upaya penggusuran paksa yang akan dilakukan Pemkot Samarinda adalah memindahkan Madjiarti tanpa adanya persetujuan terlebih dulu dari warga yang menghuni lahan tersebut.
"Memindahkan orang dari tempat tinggalnya tanpa persetujuan itu adalah bentuk penggusuran paksa. Jadi kami tidak hanya menganggap ini sebagai bentuk pelanggaran HAM tapi juga ada banyak pelanggaran administrasi atau mal administrasi yang dilakukan pemkot melalui Kecamatan Samarinda Kota dan Kelurahan Sungai Pinang Luar," bebernya.
Lebih lanjut dijelaskannya, penggusuran paksa itu lebih terlihat jelas ketika Pemkot Samarinda memberikan surat peringatan satu dan dua secara bersamaan.
Yang mana semestinya, hal tersebut seharusnya dilakukan secara bertahap dan dinilai LBH Samarinda juga sebagai bentuk manipulatif.
"Karena di tanggal yang diterima klien kami itu pada 7 Februari padahal di suratnya tertulis 25 Januari," tegasnya.