Komposisi ini jelas adalah politik akomodatif Prabowo, sangat berbeda dengan keinginan awal kabinet Zaken.
Melihat kondisi itu, maka saya secara subjektif meyakini dalam kurun waktu tiga bulan mendatang, kabinet Prabowo masih akan berkutat pada konsolidasi anggaran, menyesuaikan postur APBN, meski sebenarnya menjadi beban baru di luar beban utang yang sudah mencapai 8.000-an triliun lebih.
Sebabnya tak lain adalah bertambahnya jumlah dan pemisahan kementerian yang sebelumnya digabung. Kondisi ini diperparah dengan deflasi yang sudah memasuki satu semester.
Tanda-tandanya bisa kita lihat dari 10 juta kelas menengah anjlok, sehingga mereka menarik ramai-ramai tabungannya.
Belum lagi dampak global meletusnya perang senjata di sejumlah kawasan, serta konsep pengembangan daerah-daerah yang tidak berbasis kearifan lokal yang memicu konflik dengan warga. Sudah banyak contoh.
Kekhawatiran lain, dengan gemuknya kabinet, Prabowo terbebani dengan komitmen atau kompromi, balas jasa kepada para pihak pendukungnya, baik itu partai politik maupun dari kalangan pengusaha, ditambah kesepakatan dengan Jokowi yang sebenarnya ikut menjadi beban, ibarat kata sebagai “hantu.”
Alhasil kita juga melihat komposisi menteri dan wakil menteri juga ada titipan kalangan pengusaha, semisal pengusaha batu bara. Oleh sebab itu, ke depan potensi kekuasaan “berselingkuh” dengan para pengusaha masih bisa terjadi. Artinya kepemimpinan Prabowo masih sangat dimungkinkan melanggengkan para kaum monopolis (oligarki).
Inilah sebenarnya harus diawasi kalangan muda. Karena persekongkolan kekuasaan dan oligarki cenderung menyebabkan timbulnya apa yang saya sebut sebagai “kejahatan kebijakan.”
Kebijakan yang selalu dilahirkan diduga hanya menguntungkan segelintir orang yakni para monopolis. Jika hal ini terus didiamkan, maka bisa mengarah kepada fasisme. Berangkat dari kepemimpinan sebelumnya, yang menjadikan kebijakan menjadi “alat hegemoni.”
Indonesia Emas Atau Indonesia Cemas 2045
Di sisi lain, jika saya melihat pidato politik Prabowo pasca-dilantik, saya mendukung wacana kedaulatan pangan yang dijanjikannya lima tahun ke depan. Lagi-lagi kita kembali pada pembangunan berbasis kearifan lokal, namun beberapa kasus justru implementasi ketahanan ataupun kedaulatan pangan ini menuai kontroversi sebagaimana digagas saat pemerintahan Jokowi.