POJOKNEGERI.COM - Ecotourism atau ekowisata sedang naik daun. Traveler masa kini suka mencari ketenangan di alam.
Alexander Thian, storygrapher dan penulis yang dikenal dengan nama Amrazing, seperti menemukan energi baru, sepulang dari traveling di alam.
Ia bercerita, suatu kali ia mendaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, bersama teman-temannya, Ia pernah menikmati makan siang di alam Rinjani, lalu merebahkan diri di tanah beralas daun-daun kering yang berjatuhan. Sambil merasakan udara yang sangat segar. Ia mendengarkan suara angin yang kemerisik, berpadu dengan suara aliran sungai.
“Aku pikir, kapan lagi bisa seperti ini? Kalau mengingat momen itu, rasanya sampai mau menangis.” ujarnya.
Diyah Deviyanti, Project Coordinator Hutan Itu Indonesia (HII) menceritakan pengalamannya, ketika traveling ke destinasi ekowisata Tangkahan, yang tercakup dalam Taman Nasional Gunung Leuser.
Diyah benar-benar merasakan kedamaian di tengah hutan yang keasliannya masih sangat dijaga, menyusuri jalan setapak kecil, sesekali terkena ranting pohon yang menjuntai. Ia menikmati air terjun yang airnya memang benar-benar jatuh secara alami, yang sekitarnya masih natural, tidak dengan sengaja ditambahkan spot untuk berfoto.
“Begitulah gambaran destinasi ekowisata yang sesungguhnya. Pengelola tidak mengubah fungsi hutan sebagai sumber oksigen dan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Tidak ada pembangunan fasilitas yang mengubah atau merusak ekosistem. Tak perlu takut, tempat seperti ini sangat aman, karena kita ditemani pemandu. Apalagi, sebelum perjalanan kita diberi informasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” kata Diyah.
Tak berlebihan jika hutan juga disebut baik bagi kesehatan mental. Hutan didominasi oleh vegetasi pohon. Keberadaan pohon dapat menurunkan suhu dan kebisingan, serta memberikan oksigen bagi manusia. Hutan juga memiliki berbagai jenis flora yang menghasilkan aroma yang menciptakan sensasi kenyamanan bagi raga.
Selain itu, hutan merupakan habitat bagi burung-burung. Paduan suara burung, air, dan angin dapat memberikan ketenangan jiwa bagi manusia.
Meski sedang begitu digemari, belum semua traveler memahami benar tentang ekowisata. Apa saja salah kaprah tentang ekowisata yang #MudaMudiBumi perlu ketahui?
1. Wisata alam pasti ekowisata
Banyak di antara kita mungkin berpikir, jalan-jalan ke taman, kebun raya, air terjun, hutan, apalagi taman nasional, sudah pasti berkonsep ekowisata. Soalnya, kan, jalan-jalannya di alam. Ternyata, tidak selalu begitu. Diyah menjelaskan, memang betul bahwa ekowisata itu berwisata ke alam terbuka.
“Tapi, ekowisata menyimpan pesan bahwa wisatawan juga ingin mendapat pengetahuan tentang alam, tentang budaya, juga tentang masyarakat lokalnya. Satu hal yang pasti, kegiatan kita sebagai wisatawan, maupun kegiatan yang dilakukan oleh pengelola tempat wisata, tidak merusak alam. Sekalipun hutan atau taman nasional, jika pengelolaannya mengganggu ekosistem, tempat itu tak bisa disebut destinasi ekowisata.” ujarnya.
Ada hal mendasar yang membedakan destinasi ekowisata dan tempat wisata secara umum, yaitu fasilitas pendukung. Di tempat wisata umum, meski menampilkan keindahan alam, biasanya terdapat bermacam fasilitas untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Misalnya, toilet dan tempat makan. Diyah menyoroti, ketika membangun fasilitas tersebut, terkadang pengelolanya lupa memperhatikan ekosistem.
“Di destinasi ekowisata, Anda tidak akan menemukan fasilitas pendukung. Karena, tujuan ekowisata adalah melindungi kealamian suatu lingkungan, sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar. Kita bisa membantu kesejahteraan mereka dengan membeli produk buatan mereka, misalnya madu hutan, atau menggunakan jasa penduduk lokal sebagai guide,” kata Diyah.
Alex juga kerap menggunakan jasa porter sebagai bagian dari kontribusinya terhadap perekonomian warga lokal.
“Wisatawan juga bisa lebih membantu kalau menyewa tenda dari mereka dan minta dibuatkan makanan.” ucapnya.
2. Ekowisata itu murah
Kita mungkin berpikir, karena traveling ke alam, artinya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menginap di hotel dengan fasilitas bagus atau untuk makan di resto. Jadi, sudah pasti biayanya akan lebih murah daripada jalan-jalan ke kota.
Rupanya anggapan ini tak benar. Ekowisata justru cenderung memakan banyak biaya. Diyah mencontohkan, kalau suatu tempat wisata dibuka secara besar-besaran, tiket masuknya akan lebih murah. Sedangkan pada destinasi ekowisata yang jumlah pengunjungnya dibatasi, biayanya akan lebih tinggi.
“Pembatasan pengunjung penting dilakukan agar alam tidak rusak. Dampaknya, pemasukan pengelolanya juga terpengaruh. Dana ini bukan hanya untuk pengelola, melainkan disebar untuk berbagai aspek. Sebagian besar untuk pemeliharaan tempat, sebagian juga untuk kas pemberdayaan masyarakat.” katanya.
Pertanyaannya, kalau alamnya dibiarkan alami dan tempat itu tak punya fasilitas yang perlu dirawat, mengapa perlu banyak dana untuk pemeliharaan? Diyah menjelaskan, justru karena tempat itu merupakan tempat alami, banyak orang bisa asal saja mengambil sesuatu dari hutan. Misalnya, mengambil kayu. Agar hal seperti itu tidak terjadi, perlu ada penjaga hutan atau ranger. Ada pula yang bertugas untuk membersihkan jalur jalan, misalnya ketika ada pohon yang tumbang karena angin. Mereka akan memotong batang pohon, sehingga jalanan bisa dilewati oleh warga.
Diyah menjamin, meski terbilang cukup mahal, pengalaman pergi ke area berkonsep ekowisata pasti akan sepadan dengan biayanya.
3. Kegiatan di lokasi ekowisata tak beda dari tempat wisata umum