POJOKNEGERI.COM - Perang Rusia – Ukraina (sebagai proxy war- Amerika Serikat (AS) & NATO) sudah mulai merambah ke Indonesia.
Mungkin karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, maka yang dibangun adalah dengan mempolitisasi penggunaan isu agama.
Ya, beberapa utusan Ukraina sudah menyuarakan bahwa Rusia telah melanggar hak asasi manusia dengan menjadikan Muslim Tatar Krimea sebagai korban pembantaian atas aksi militer Rusia di Ukraina.
Tragisnya, ada sejumlah tokoh asal Indonesia yang mulai menyuarakan isu tersebut, pastinya tokoh-tokoh yang dianggap pro dengan AS.
Target dari gerakan politisasi ini tak lain harapannya agar Pemerintah Indonesia mengeluarkan sikap atas tindakan militer Rusia terhadap Ukraina.
Tidak semudah itu, saya yakin Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) sangat paham apa yang sebenarnya terjadi terkait perang Rusia dan Ukraina.
Perang tersebut sudah sangat jelas adalah konflik global antara Rusia versus AS dan NATO, termasuk China di dalamnya, yang kebetulan Ukraina sebagai “ring tinjunya.”
Sudah jelas Indonesia memiliki pedoman politik luar negeri yang bebas aktif. Dimana Pemerintah Indonesia dalam konflik tersebut tetap berpegang teguh untuk menjadi juru damai.
Tentu banyak penggiat kajian internasional – geopolitik masih ingat bagaimana AS dan sejumlah negara Eropa mendukung penggulingan Presiden Ukraina Viktor Yanukovich pada 2014 silam, dimana Viktor Poroshenko menjadi penggantinya Yanukovich setelah berhasil ditumbangkan.
Sejak itulah, Ukraina disebut-sebut oleh banyak penggiat menjadi wilayah proksi dari kebijakan luar negeri AS serta negara Barat lainnya.
Memang di Indonesia politisasi isu agama masih menjadi tren, meskipun saya yakin, sudah banyak juga masyarakat sadar, bahwa beda agama beda politisasi agama.
Contoh terbaru adalah patung Bunda Maria di sebuah wilayah di Yogyakarta, yang saat ini ditutup menggunakan terpal warna biru. Alasannya, mengganggu kekhusuan ibadah agama lain.
Di saat Marvel Studio dalam “Ant-Man and the Wasp: Quantumania” menyajikan peperangan di dunia kuantum, setelah perang di luar angkasa berhasil dikuliti lewat “Avenger: Infinity War & Avenger: End Game,” yang setidaknya juga memberikan gambaran soal idealismenya “Thanos” yang beranggapan bahwa manusia adalah perusak tata surya, dan melakukan “genosida” dengan “blip” agar semesta khususnya bumi mengalami keseimbangan sebagaimana teori permintaan dan penawaran yang mencapai kurva equiblirium, kita masih sibuk dengan urusan patung Bunda Maria yang dianggap mengganggu keimanan agama lain, sibuk kampanye dengan tema politik identitas berbasis agama, penjual sate babi yang mendadak digeruduk Satpol PP di Malang, padahal si pedagang sudah puluhan tahun berjualan.
Tanpa disantroni Satpol PP pun, kami yang Muslim sudah tahu, mengkonsumsi Babi itu dilarang. Gak perlu penegasan dari Satpol PP.
Ok, kita kembali ke pertempuan Rusia dan Ukraina, selain mempolitisasi isu agama atas Muslim Tatar Krimea sebagai korban pembantaian atas aksi militer Rusia di Ukraina, gempuran lainnya kini juga dialami Presiden Rusia, Vladimir Putin yang diwacanakan sebagai penjahat perang.
Ya, Internasional Criminal Court (ICC) atau bisa disebut sebagai pengadilan internasionalnya tindak kriminal, memerintahkan agar menangkap Putin, dengan isu yang dituduhkan membantai anak-anak Ukraina dan mendeportasinya.
Dari banyak artikel disebutkan, bahwa Rusia merupakan salah satu negara yang tidak pernah meratifikasi “Statuta Roma.” Walau, Rusia ikut menandantangani. Isi Statuta Roma (2002) tersebut mengatur tentang ICC yang punya kewenangan untuk mengadili kejahatan serius seperti genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Pertanyaannya kemudian, kemana ICC saat AS membombardir Irak, Libya dan banyak negara yang diduga tidak mengakomodir kepentingan AS akan sumber daya alam. Gak perlu lah kita bicara soal campur tangan AS dan negara Eropa lainnya di Afghanistan.
Ok…..
Ditulis oleh Sonny Majid, Pembelajar dari Lingkar Kaji Isu-Isu Strategis
(redaksi)