Banyak distributor minyak goreng memilih menjualnya kepada pihak industri, dengan alasan kalangan industri mampu membelinya dengan harga lebih tinggi, dibanding mereka menjualnya ke masyarakat umum yang pastinya harus sesuai HET.
Temuan kedua, Ombudsman menemukan adanya penyusupan ritel modern ke pasar tradisional.
Maksudnya, banyak pedagang tradisional membeli minyak goreng bukan dari distributor langsung atau agen, melainkan dari ritel modern. Kondisi ini yang membuat harga minyak goreng naik tajam ketika sampai ke konsumen pasar tradisional, artinya harga jual di atas HET.
Yang lebih mengerikan adalah banyak ritel modern menerapkan bundling, alias konsumen mengharuskan membeli barang lain jika ingin membeli minyak goreng.
Menurut Ombudsman ini motif mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan kelangkaan.
Kendati pabrik minyak goreng banyak, tetapi bukan rahasia umum lagi siapa-siapa konglomerasi bisnis minyak goreng, tak lain adalah mereka yang juga pemilik PKS. Berarti pabrik minyak goreng (mayoritas) justru bisa dikendalikan oleh pemilik PKS (minoritas).
Masih ingat ketika Ombudsman mengaitkan temuan polisi yang menemukan dugaan penimbunan minyak goreng sebanyak 80.000 karton di Sumatera Utara. Menurut Ombudsman itu bukan penimbunan, sebab selang beberapa waktu, PT Salim Ivomas Pratama (Salim Group) langsung menggelar konferensi pers, yang membantah pernyataan Kapolda Sumatera Utara. Disinyalir tumpukan minyak goreng 80.000 karton itu adalah pesanan.
Kembali ke sawit? Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) membeberkan data produksi minyak sawit nasional per akhir tahun lalu (2021), produksi nasional minyak sawit sebesar 51,95 juta kilo liter, terdiri dari 47,47 kilo liter CPO dan 4,48 juga kilo liter PKO. Artinya CPO 91 persen dari total produksi nasional minyak sawit.
Untuk total konsumsi dalam negeri sebanyak 18,17 juta kilo liter, di dalamnya termasuk alokasi program B-30. Konsumsi CPO mencapai 91 persen dari 18,17 juta kilo liter, sama dengan 16,5 juta kilo liter CPO.
Apakah kelangkaan minyak goreng akibat suplai-demand, atau ulah para kartel? Silahkan Anda menilainya.
Stop ekspor CPO